Sunday 3 November 2013

Yang Mungkin Sampai



Apa kabar kamu?
Ouch! Aku baik-baik saja, bang. Sehat. Abang gimana kabarnya?
Syukur untuk kabar kamu itu. Aku juga.
Abang sibuk apa sekarang? Tumben  ingat aku,  apa ada yang bisa aku bantu dengar, bang?
Ga ada. Cuma ingin tahu kabar kamu. Sibuk sendiri.
Ih.. kok gitu sih, bang..
Gitu gimana?
Pasti abang punya banyak cerita buat aku. Cerita dong, bang! Aku lagi bĂȘte nih, bang..
Kalau gitu, kamu aja yang cerita, biar hilang betenya.
Abang selalu gitu deh.. Padahal aku selalu suka cerita-cerita abang. Terakhir abang cerita kapan ya.. Ah, pokoknya udah lama banget. Waktu itu cerita abang telah menghadirkan gempa dalam diriku.
Oya? Memangnya aku cerita apaan?
Hmmm  Abang masih yang dulu. Datang dan pergi bagai angin. Ketika aku butuh kesegaran, angin yang kuharapkan tak datang. Saat aku terbiasa kegerahan, angin itu menggemuruh. Tapi, aku suka situasi seperti itu.
Maaf..
Kok maaf? Abang ga salah.
Maaf untuk manghuntal yang kuhadirkan. Maaf untuk waktu yang  tak bisa kamu tebak.
Oke, deh.. Tapi abang harus cerita. Eh, emang manghuntal apaan, bang? Ayolah, bang, cerita..
Cerita apaan? Aku tak punya. Kalau mau tahu manghuntal mendingan kamu baca buku atau klik internet aja.
Aku mau tahu arti dari abang aja.
Ogah. Kalau ga, kamu tanya aja sama orang tua-tua, pasti ceritanya lebih komplit. Lebih heroik.
Kan abang udah tua makanya aku mau cerita abang aja hehehe
Busyet!
Kalau ga mau cerita yang itu, ya udah cerita yang lain aja
Udah kubilang aku ga punya cerita
Cerita apaan gitu, bang.. Tentang hidup. Tentang kesibukan abang. Tentang masa depan abang. Tentang apa aja  bakal kudengar dengan  senang  hati.
Kamu selalu memaksa.
Abang sih.. Masih sama kan.. Abang kan juga. Aku jadi ingat waktu kita makan coklat. Abang ingat ga?
Gimana tuh?
Ah, abang payah.. Waktu itu kita makan coklat bareng di teras rumahku. Aku udah habis banyak, eee si abang satu coklatpun belum kegigit. Abang asyik ngeliat bungkusnya. Abang sibuk mikirin, mengapa ada coklat. Mengapa banyak orang suka. Mengapa kita harus makan. Mengapa lambang cinta. Akhirnya, aku juga yang ngabisin setengah bungkus coklat abang sambil ketawa-tawa ngeliat kerutan di kening abang hahaha
Hehehe Udah lama
Ayo, mas cerita..! ga seru kalu Cuma nanya kabar, basi-basi namanya. Gantian deh entar..
Kamu selalu berhasil
Iya, dong.. kan, abang yang ajarin hehehe
Dari mana ceritaku?
Terserah abang, aku kan pendengar. Aku sambil ngerjain tugas ga apa-apa kan, bang..
Kamu selalu begitu
Oh, ini aja bang, dari manghuntal. Eh, ga ding, dari tumben aja hehehe
Kan itu udah kujawab!
Oke deh, terserah abang mau mulai dari apa.
Baiklah. Aku ceritakan, tapi agar kamu tahu, aku mengatakannya terlebih penting untuk mendengar cerita-ceritamu.
Iya, iya, iya.. Janji, aku nanti cerita.
Selalu sekelumit ceritamu
Hadoh! Kalau debat terus kapan ceritanya, bang..
Sebentar kenapa. Aku juga perlu merunut.
Iya, bang.. Maaf.
Selalu ada buat kamu

Karena kamu tadi Tanya soal manghuntal, aku ceritakan sedikit, sebab yang kutahu  cuma sedikit. Yang punya sedikit berbagi sedikit; yang punya banyak berbagi banyak, kira-kira begitulah cara kita berbagi sesuai kadar kepunyaan dan terlebih penting keiklasan. Manghuntal artinya gemuruh atau gempa yang merupakan nama Sisimangaraja I. Menurut cerita, Manghuntal terlahir tidak melalui proses biologis manusia. Ia adalah anak cahaya. Sewaktu ibunya mandi disebuah mata air di dalam hutan, tiba-tiba cahaya merasuki tubuhnya diiringi suara gemuruh. Sejak kejadian itu, ibunya, titisan roh (Batara Guru) mengandung. Sang suami, Bona Ni Onan, yang baru pulang dari pengembaraan menyangsikan kesetian istrinya yang dijumpai tengah hamil tua.  Tapi, melalui mimpi, Bona Ni Onan mendapat kepastian perihal kehamilan istrinya sehingga ia mau menerima kehamilan tersebut. Setelah dikandung selama tiga tahun lahirlah Manghuntal diiringi gempa. Inilah cikal bakal kerajaan Sisingamangaraja. Manghuntal terlahir dengan kesaktian yang tiada bandingnya di dunia. Peninggalan kesaktiannya yang masih ada yaitu Piso Gaja Dompak. Selanjutnya, Piso Gaja Dompak digunakan sebagai prasyarat, layak tidaknya keturunan Sisingamangaraja menjadi raja. Calon raja dari keturunan Sisingamangaraja harus mampu mencabut Piso dari sarungnya. Itulah mengapa gelar Sisingamangaraja bisa sampai pada Sisingamangaraja XII yang masuk dalam daftar pahlawan nasional sekarang ini.

Begitulah ceritanya, yang aku ceritakan kembali bulat-bulat kepada kamu. Tak kumasukkan perspektif atau persepsiku, bulat-bulat ceritaku. Kurasa itu cukup untuk melegakan rasa ingin tahu kamu. Dan sekarang, aku ceritakan ceritaku.

Sudah lama aku melupakan kamu. Mungkin sejak menghadirkan gempa di dirimu, seperti yang kamu katakana tadi. Takkan kuceritakan alasan apa yang membuat aku  memutuskan melupakan kamu. Anggap saja seperti angin; seperti waktu; seperti kamu mendefinisikan aku. Toh, dalam taksiranku, kamu akan bilang, “Aku kan perempuan, ga mungkin dong nanya duluan.” Aku juga takkan membahas ini, terlalu basi buatku.

Aku sudah menghapus kamu dalam hatiku, walaupun  demikian harus kuakui ingatan tak akan atau tak pernah dapat dihapus. Hari ini aku sibuk. Sibuk dengan diri, memang kegemaranku, seperti yang telah kau pahami. Pada kesibukkan itu alam sadarku telah mengasingkan kamu di ujung terjauh garis-garis otakku. Bahkan, di alam bawah sadar aku menutup pintu bagi kedatanganmu. Aku kurangi  jam tidurku di malam hari dan bangun siang langsung bersibuk dengan pikiran-pikiran yang lebih besar menurut kesanggupan pikiranku. Aku dorong pikiran menembus masa lalu-kini, serta menembus alam masa akan daatang. Aku sungguh senang melakukannya  karena hal ini mampu menyingkirkan kamu yang terus mengetuk-ketuk kepalaku. Meskipun sekelilingku tak ada yang mendukung sikapku, apa peduliku, sama juga kamu yang sejak dulu tak pernah suka bila aku sedang sibuk sendiri, “egois” katamu. Tak mengapa, sungguh tak mengapa.

Di sini aku menemukan hidup baru. Mungkin kamu akan bilang, “Rutinitas lama diwaktu  yang baru.” Juga tak mengapa, sekarang aku bangun harapan baruku. Aku semat simpan hidup dalam hati, kepala, tubuh. Setiap hari, sebelum kuakhiri putarannya tak lupa kubisikkan kepada Tuhan, hidup itu. Termasuk dia yang meremas-remas degup jantungku. Dia yang kamu bilang berbeda kini menjadi pengingat segala tindakanku. Dia membuat aku bertahan dijenuh. Kuberanikan diri mengenalkan dia pada Tuhan seperti yang kupertegas malam kemarin. Nama dia kusebut, memohonkan perlindungan bagi dia dan keluarganya. Terlebih, agar Tuhan tidak marah oleh perasaanku yang terus tumbuh bagi dia. Kemudian aku berharap sebelum memejam mata, dia datang di mimpi. Ketika aku berharap dia datang, kamulah yang menjumpai aku. Kamu hadir saat aku sibuk sendiri. Kamu sadar aku acuh namun menunggu. Menunggu aku keluar dari sangkar sembari terus memandangiku. Akhirnya aku selesai, keluar menjumpaimu dalam diam. Kamu pandang, aku juga. Wajahmu riang. Di dunia ini aku masih berpikir, sebelum kulanjut cerita, apa pantas aku memimpikan kamu. Mimpi kekasih yang mungkin ibu bagi anak-anak yang nyatanya aku bukan bapaknya? Aku terus mencari pembenaran tentang mimpi ini. Lantas, kuputuskan menerima kehadiranmu di mimpi karena kita punya latar yang sama. Setidaknya kita setanah, seair, dan selangit. Moyang kita satu seperti Tuhan satu. Maka tak lagi aku menolak kamu, setidaknya aku lebih dulu mengenal kamu –teman kamu- ketimbang kekasihmu. Inilah pembenaran yang menjadi landasan kuat atas kehadiran kamu dalam mimpiku. Yang menggugurkan kata ‘pantas’ dalam diriku walau aku juga tak menolak hantaran freud dan kitab kekinian tapi itu memang bukan yang utama.

Kemudian kita berjalan diabu-abu, entah di mana, dalam diam bergandengan hingga ke sudut kita berhenti. Tubuh kita berhadapan-tatapmu ceria-wajahmu bahagia. Dan aku kaku ditatapmu. Mataku dingin seperti yang sering kamu katakan. Bagiku kamu sedang berbalut. Kebahagiaan kamu adalah balutan.

Tanpa meminta, aku menyerap apa yang kamu balut. Duka terdalam kamu di hatiku. Sungguh dahsyat duka itu sehingga aku tak mampu bergeming. Gerangan apa yang membuat duka kamu kurasakan begini. Kamu letakkan tangan-tangan lingkari leherku. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kamu harap dari sebuah pertemuan?  Adalah pertanyaan-pertanyaan yang tak sanggup kulontarkan pada kamu. Kamu tersenyum.
Senyum yang tak sedikitpun berubah oleh waktu. Manja. Ya, tetaplah manja.

Di fragmen diam itu tiba-tiba kamu berucap. Sebuah tanya yang membenamkan keheningan di dasar-dada laut. Tanya yang meminta.
Kamu pinta aku melepas helai-helai tubuhku, tepat dirangkulanmu. Kini aku tahu duka kamu. Pertanyaan itulah duka kamu-menjadi duka aku. Sebab tanya yang tak pernah kuharapkan keluar dari gua-gua terdalam di seantero dunia telah kamu cabut sebagai pamungkas. Dan yang tak kuduga kamu hadir untuk jawaban aku saat pagi. Kali ini aku tak berelak, pada lingkaran tangan-tanganmu, iklas aku tariki helai-helai sendiri.
Sekarang, apa yang kamu pinta lagi?

Air mata berlinangan di wajah kamu. Sederas air mata kamu menghujamkan bibir di bibir aku. Beku. Kamu begitu berhasrat, entah apa. Mungkin tak ingin terpisah. Mungkin maaf. Mungkin perpisahan. Kaki-kakimu kini tak berjejak. Kamu di dadaku dan tangan-tanganku di punggung kamu. Tapi, aku dingin. Pun saat lidah kamu coba bongkar mulut aku. Aku tetap mengatup. Kemudian aku tersadar, “Gi..”tepat bibir aku sedikit membuka, lidah kamu menyusuri udara mulutku dan lidah kita menyatu. Demikian kita hilang. Tapi tidak dukanya. Dukanya lekat.
Duka itu turut serta dalam kesadaran hingga aku tanyakan kamu sekarang.

Itulah sebab angin ini-waktu ini datang ya, abang..
Kamu bahagia?
Ih.. Pertanyaan abang bikin..
Bikin apa? Pernahkah ada yang menanyai seperti  pertanyaanku itu?
Hahaha
Kamu bahagia kan?
Iya, abang..
Menangislah..
Sok tahu abang. Aku ga nangis! Weeeekkk
Abang
Apa?
Cuma ngetes doang
Sial!!
Abang..
Apa!!!
Maaf, aku udah menutupi sesuatu ditiap ceritaku..
Aku tahu
(Isak)
Sudah, ya.. Baik-baik kamu di sana.
Abang juga.
………………………..
Aku selalu merindumu



9 Juni 2011


No comments: