Apa kabar kamu?
Ouch! Aku baik-baik saja, bang. Sehat. Abang gimana
kabarnya?
Syukur untuk kabar kamu itu. Aku juga.
Abang sibuk apa sekarang? Tumben ingat aku,
apa ada yang bisa aku bantu dengar, bang?
Ga ada. Cuma ingin tahu kabar kamu. Sibuk sendiri.
Ih.. kok gitu sih, bang..
Gitu gimana?
Pasti abang punya banyak cerita buat aku. Cerita dong,
bang! Aku lagi bĂȘte nih, bang..
Kalau gitu, kamu aja yang cerita, biar hilang betenya.
Abang selalu gitu deh.. Padahal aku selalu suka cerita-cerita
abang. Terakhir abang cerita kapan ya.. Ah, pokoknya udah lama banget. Waktu
itu cerita abang telah menghadirkan gempa dalam diriku.
Oya? Memangnya aku cerita apaan?
Hmmm Abang masih
yang dulu. Datang dan pergi bagai angin. Ketika aku butuh kesegaran, angin yang
kuharapkan tak datang. Saat aku terbiasa kegerahan, angin itu menggemuruh.
Tapi, aku suka situasi seperti itu.
Maaf..
Kok maaf? Abang ga salah.
Maaf untuk manghuntal yang kuhadirkan. Maaf untuk waktu
yang tak bisa kamu tebak.
Oke, deh.. Tapi abang harus cerita. Eh, emang manghuntal
apaan, bang? Ayolah, bang, cerita..
Cerita apaan? Aku tak punya. Kalau mau tahu manghuntal
mendingan kamu baca buku atau klik internet aja.
Aku mau tahu arti dari abang aja.
Ogah. Kalau ga, kamu tanya aja sama orang tua-tua, pasti
ceritanya lebih komplit. Lebih heroik.
Kan abang udah tua makanya aku mau cerita abang aja
hehehe
Busyet!
Kalau ga mau cerita yang itu, ya udah cerita yang lain
aja
Udah kubilang aku ga punya cerita
Cerita apaan gitu, bang.. Tentang hidup. Tentang
kesibukan abang. Tentang masa depan abang. Tentang apa aja bakal kudengar dengan senang
hati.
Kamu selalu memaksa.
Abang sih.. Masih sama kan.. Abang kan juga. Aku jadi
ingat waktu kita makan coklat. Abang ingat ga?
Gimana tuh?
Ah, abang payah.. Waktu itu kita makan coklat bareng di
teras rumahku. Aku udah habis banyak, eee si abang satu coklatpun belum
kegigit. Abang asyik ngeliat bungkusnya. Abang sibuk mikirin, mengapa ada
coklat. Mengapa banyak orang suka. Mengapa kita harus makan. Mengapa lambang
cinta. Akhirnya, aku juga yang ngabisin setengah bungkus coklat abang sambil
ketawa-tawa ngeliat kerutan di kening abang hahaha
Hehehe Udah lama
Ayo, mas cerita..! ga seru kalu Cuma nanya kabar,
basi-basi namanya. Gantian deh entar..
Kamu selalu berhasil
Iya, dong.. kan, abang yang ajarin hehehe
Dari mana ceritaku?
Terserah abang, aku kan pendengar. Aku sambil ngerjain
tugas ga apa-apa kan, bang..
Kamu selalu begitu
Oh, ini aja bang, dari manghuntal. Eh, ga ding, dari
tumben aja hehehe
Kan itu udah kujawab!
Oke deh, terserah abang mau mulai dari apa.
Baiklah. Aku ceritakan, tapi agar kamu tahu, aku
mengatakannya terlebih penting untuk mendengar cerita-ceritamu.
Iya, iya, iya.. Janji, aku nanti cerita.
Selalu sekelumit ceritamu
Hadoh! Kalau debat terus kapan ceritanya, bang..
Sebentar kenapa. Aku juga perlu merunut.
Iya, bang.. Maaf.
Selalu ada buat kamu
Karena kamu tadi Tanya soal manghuntal, aku ceritakan
sedikit, sebab yang kutahu cuma sedikit.
Yang punya sedikit berbagi sedikit; yang punya banyak berbagi banyak, kira-kira
begitulah cara kita berbagi sesuai kadar kepunyaan dan terlebih penting
keiklasan. Manghuntal artinya gemuruh atau gempa yang merupakan nama
Sisimangaraja I. Menurut cerita, Manghuntal terlahir tidak melalui proses
biologis manusia. Ia adalah anak cahaya. Sewaktu ibunya mandi disebuah mata air
di dalam hutan, tiba-tiba cahaya merasuki tubuhnya diiringi suara gemuruh.
Sejak kejadian itu, ibunya, titisan roh (Batara Guru) mengandung. Sang suami,
Bona Ni Onan, yang baru pulang dari pengembaraan menyangsikan kesetian istrinya
yang dijumpai tengah hamil tua. Tapi,
melalui mimpi, Bona Ni Onan mendapat kepastian perihal kehamilan istrinya
sehingga ia mau menerima kehamilan tersebut. Setelah dikandung selama tiga
tahun lahirlah Manghuntal diiringi gempa. Inilah cikal bakal kerajaan
Sisingamangaraja. Manghuntal terlahir dengan kesaktian yang tiada bandingnya di
dunia. Peninggalan kesaktiannya yang masih ada yaitu Piso Gaja Dompak.
Selanjutnya, Piso Gaja Dompak digunakan sebagai prasyarat, layak tidaknya
keturunan Sisingamangaraja menjadi raja. Calon raja dari keturunan
Sisingamangaraja harus mampu mencabut Piso dari sarungnya. Itulah mengapa gelar
Sisingamangaraja bisa sampai pada Sisingamangaraja XII yang masuk dalam daftar
pahlawan nasional sekarang ini.
Begitulah ceritanya, yang aku ceritakan kembali
bulat-bulat kepada kamu. Tak kumasukkan perspektif atau persepsiku, bulat-bulat
ceritaku. Kurasa itu cukup untuk melegakan rasa ingin tahu kamu. Dan sekarang,
aku ceritakan ceritaku.
Sudah lama aku melupakan kamu. Mungkin sejak menghadirkan
gempa di dirimu, seperti yang kamu katakana tadi. Takkan kuceritakan alasan apa
yang membuat aku memutuskan melupakan
kamu. Anggap saja seperti angin; seperti waktu; seperti kamu mendefinisikan
aku. Toh, dalam taksiranku, kamu akan bilang, “Aku kan perempuan, ga mungkin
dong nanya duluan.” Aku juga takkan membahas ini, terlalu basi buatku.
Aku sudah menghapus kamu dalam hatiku, walaupun demikian harus kuakui ingatan tak akan atau
tak pernah dapat dihapus. Hari ini aku sibuk. Sibuk dengan diri, memang
kegemaranku, seperti yang telah kau pahami. Pada kesibukkan itu alam sadarku
telah mengasingkan kamu di ujung terjauh garis-garis otakku. Bahkan, di alam
bawah sadar aku menutup pintu bagi kedatanganmu. Aku kurangi jam tidurku di malam hari dan bangun siang
langsung bersibuk dengan pikiran-pikiran yang lebih besar menurut kesanggupan
pikiranku. Aku dorong pikiran menembus masa lalu-kini, serta menembus alam masa
akan daatang. Aku sungguh senang melakukannya
karena hal ini mampu menyingkirkan kamu yang terus mengetuk-ketuk
kepalaku. Meskipun sekelilingku tak ada yang mendukung sikapku, apa peduliku,
sama juga kamu yang sejak dulu tak pernah suka bila aku sedang sibuk sendiri,
“egois” katamu. Tak mengapa, sungguh tak mengapa.
Di sini aku menemukan hidup baru. Mungkin kamu akan
bilang, “Rutinitas lama diwaktu yang
baru.” Juga tak mengapa, sekarang aku bangun harapan baruku. Aku semat simpan
hidup dalam hati, kepala, tubuh. Setiap hari, sebelum kuakhiri putarannya tak
lupa kubisikkan kepada Tuhan, hidup itu. Termasuk dia yang meremas-remas degup
jantungku. Dia yang kamu bilang berbeda kini menjadi pengingat segala
tindakanku. Dia membuat aku bertahan dijenuh. Kuberanikan diri mengenalkan dia
pada Tuhan seperti yang kupertegas malam kemarin. Nama dia kusebut, memohonkan
perlindungan bagi dia dan keluarganya. Terlebih, agar Tuhan tidak marah oleh
perasaanku yang terus tumbuh bagi dia. Kemudian aku berharap sebelum memejam
mata, dia datang di mimpi. Ketika aku berharap dia datang, kamulah yang
menjumpai aku. Kamu hadir saat aku sibuk sendiri. Kamu sadar aku acuh namun
menunggu. Menunggu aku keluar dari sangkar sembari terus memandangiku. Akhirnya
aku selesai, keluar menjumpaimu dalam diam. Kamu pandang, aku juga. Wajahmu
riang. Di dunia ini aku masih berpikir, sebelum kulanjut cerita, apa pantas aku
memimpikan kamu. Mimpi kekasih yang mungkin ibu bagi anak-anak yang nyatanya
aku bukan bapaknya? Aku terus mencari pembenaran tentang mimpi ini. Lantas,
kuputuskan menerima kehadiranmu di mimpi karena kita punya latar yang sama.
Setidaknya kita setanah, seair, dan selangit. Moyang kita satu seperti Tuhan
satu. Maka tak lagi aku menolak kamu, setidaknya aku lebih dulu mengenal kamu
–teman kamu- ketimbang kekasihmu. Inilah pembenaran yang menjadi landasan kuat
atas kehadiran kamu dalam mimpiku. Yang menggugurkan kata ‘pantas’ dalam diriku
walau aku juga tak menolak hantaran freud dan kitab kekinian tapi itu memang
bukan yang utama.
Kemudian kita berjalan diabu-abu, entah di mana, dalam
diam bergandengan hingga ke sudut kita berhenti. Tubuh kita berhadapan-tatapmu
ceria-wajahmu bahagia. Dan aku kaku ditatapmu. Mataku dingin seperti yang
sering kamu katakan. Bagiku kamu sedang berbalut. Kebahagiaan kamu adalah
balutan.
Tanpa meminta, aku menyerap apa yang kamu balut. Duka
terdalam kamu di hatiku. Sungguh dahsyat duka itu sehingga aku tak mampu
bergeming. Gerangan apa yang membuat duka kamu kurasakan begini. Kamu letakkan
tangan-tangan lingkari leherku. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kamu
harap dari sebuah pertemuan? Adalah
pertanyaan-pertanyaan yang tak sanggup kulontarkan pada kamu. Kamu tersenyum.
Senyum yang tak sedikitpun berubah oleh waktu. Manja. Ya,
tetaplah manja.
Di fragmen diam itu tiba-tiba kamu berucap. Sebuah tanya
yang membenamkan keheningan di dasar-dada laut. Tanya yang meminta.
Kamu pinta aku melepas helai-helai tubuhku, tepat
dirangkulanmu. Kini aku tahu duka kamu. Pertanyaan itulah duka kamu-menjadi
duka aku. Sebab tanya yang tak pernah kuharapkan keluar dari gua-gua terdalam
di seantero dunia telah kamu cabut sebagai pamungkas. Dan yang tak kuduga kamu
hadir untuk jawaban aku saat pagi. Kali ini aku tak berelak, pada lingkaran
tangan-tanganmu, iklas aku tariki helai-helai sendiri.
Sekarang, apa yang kamu pinta lagi?
Air mata berlinangan di wajah kamu. Sederas air mata kamu
menghujamkan bibir di bibir aku. Beku. Kamu begitu berhasrat, entah apa.
Mungkin tak ingin terpisah. Mungkin maaf. Mungkin perpisahan. Kaki-kakimu kini
tak berjejak. Kamu di dadaku dan tangan-tanganku di punggung kamu. Tapi, aku
dingin. Pun saat lidah kamu coba bongkar mulut aku. Aku tetap mengatup.
Kemudian aku tersadar, “Gi..”tepat bibir aku sedikit membuka, lidah kamu
menyusuri udara mulutku dan lidah kita menyatu. Demikian kita hilang. Tapi
tidak dukanya. Dukanya lekat.
Duka itu turut serta dalam kesadaran hingga aku tanyakan
kamu sekarang.
Itulah sebab angin ini-waktu ini datang ya, abang..
Kamu bahagia?
Ih.. Pertanyaan abang bikin..
Bikin apa? Pernahkah ada yang menanyai seperti pertanyaanku itu?
Hahaha
Kamu bahagia kan?
Iya, abang..
Menangislah..
Sok tahu abang. Aku ga nangis! Weeeekkk
Abang
Apa?
Cuma ngetes doang
Sial!!
Abang..
Apa!!!
Maaf, aku udah menutupi sesuatu ditiap ceritaku..
Aku tahu
(Isak)
Sudah, ya.. Baik-baik kamu di
sana.
Abang juga.
………………………..
Aku
selalu merindumu
9 Juni
2011
No comments:
Post a Comment