Friday 20 March 2015

Gerhana Matahari

Pagi, 20 Maret 2015, aku terbangun sebelum ayam jantan berkokok. Kegelisahan membuat tidurku semalam tak nyenyak. Jumat, menurut para ahli astronomi dari berita yang kubaca, hari ini akan terjadi gerhana matahari total berdasarkan siklus soros. Itu berarti, aku setidaknya sudah mengalami gerhana matahari sebanyak dua kali dan akan menjadi yang ketiga kalinya dalam hidupku. Tapi, kali ini rasanya berbeda, tidak seperti pengalamanku sebelumnya. Mungkin pengalaman pertama mengalami gerhana matahari terasa biasa-biasa saja dikarenakan aku masih kanak-kanak dan remaja. Masa ketika aku memandang segala sesuatunya hanya sebatas satu hari -sebatas keluarga dan orang-orang di sekelinlingku. Hanya aku teringat pesan guruku yang melarang melihat ke arah matahari pada saat terjadi gerhana matahari karena pancaran pertama sinar matahari selepas gerhana dapat mengakibatkan kebutaan. Guruku bilang, kalau penasaran ingin melihat matahari setelah gerhana, ambilah ember yang berisi air dan lihatlah matahari di air. Air akan mereduksi paparan sinar ultraviolet matahari. Tapi, aku belum pernah melakukan sarannya itu. Aku tak memiliki keigintahuan lebih pada peristiwa-peristiwa alam. Aku hanya ingin bermain dan bermain sebelum bapakku pulang dari kantor menyuruhku tidur siang.
Sungguh, aku tak tahu kegelisahan apa yang terus kurasakan ketika kemarin membaca berita bahwa hari ini akan terjadi gerhana matahari. Ada sesuatu yang aneh yang tak mampu kujelaskan. Hanya batinku mengatakan akan terjadi sesuatu tepat disaat gerhana matahari.

Kusaksikan matahari meretas kegelapan subuh. Kurasakan kehangatannya menyapu dingin udara malam. Tak ada yang berubah pada matahari, masih seperti matahari yang biasa kulihat bila terbangun pagi-pagi. Masih dalam putaran waktu yang sama, tidak cepat dan tidak terlambat. Masih didahului ayam jantan berkokok. Inilah yang tak kupahami, mengapa ayam selalu berkokok menjelang matahari terbit? Mungkinkah ayam memiliki ikatan khusus dengan matahari? Ataukah ada perjanjian yang tidak tertulis di dalam kitab-kitab antara ayam dan matahari, bahwa matahari tidak boleh mendahului kokokan ayam? Atau, ayam memiliki sensitifitas lebih pada kehangatan sinar matahari ketimbang makhluk hidup lainnya, bahkan manusia yang dinyatakan makhluk paling sempurna? Ah, entahlah, aku hanya ingat sebuah peristiwa yang tertulis dalam kitab suci bila mendengar ayam berkokok. Kisah penyangkalan yang aku dengar setahun sekali sejak masa kanak-kanak sampai sekarang.

"Gerhana dimulai pukul 7:41 GMT dipagi hari. Warga di  Afrika Barat dan Eropa Barat akan melihat bulan yang bulan menutupi matahari. Gerhana total akan terjadi sekitar  pukul 9:10, di Kepulauan Faroe 9:40, dan di Svalbard, Norwegia pukul 11:10 waktu setempat. Gerhana akan berakhir pukul 11:50 GMT."

"Menunggu membuat segala sesuatunya berjalan lambat." Kalimat standar yang keluar dari dalam batinku. Jam di laptopku menunjukan pukul 06:11 WIB, ini berarti di benua eropa masih pukul 00.00 WIB, begitupun benua afrika, tempat-tempat yang mengalami gerhana matahari total.

Aku masih harus menunggu setidaknya sembilan jam kedepan demi ikut merasakan gerhana matahari total. Demi kegelisahan yang kurasakan aku sudah merencanakan tidak melakukan kegiatan harian. Aku berencana tidak masuk kerja. Aku berencana tidak mengantarkan anak-anak ke sekolah. Rencana itu sudah kuberitahukan kepada istriku semalam, di tempat tidur. Istriku tidak bertanya banyak ketika aku mengatakan akan beristirahat seharian di rumah. Tapi, aku tak mengatakan padanya perihal kegelisahanku. Bagiku, kegelisahan ini bersifat personal yang tak perlu diketahuinya. Sebab dalam pemikiranku setiap orang berhak memiliki waktu personalnya. Memenuhi hasrat dalam batinnya sendiri yang tak terbagikan kepada orang lain termasuk istriku. Terlebih, kegelisahanku tidak akan mengganggu hubunganku dengannya. Tidak melangkahi ikatan kami sebagai suami-istri, sebagai seorang bapak ditengah keluarga.

Istriku menghampiriku di meja teras rumah membawakan secangkir kopi yang masih mengebul. "Jadi aku yang mengantar anak-anak pagi ini?" Tanyanya sembari meletakan kopi di samping laptop. "Iya." Jawabku singkat.
"Satu, dua, tiga, empat.. Hmmmm Sepertinya udah kebanyakan merokok sepagi ini yaa.." Aku tak menjawab sindiran istriku. Tatapan mataku sudah cukup sebagai jawaban atas sindirannya. "Ok..Ok, aku mau ngecek anak-anak udah siap sarapannya apa belum." Istriku berlalu dari depan mejaku.
Istriku sungguh memahami bahasa mataku. Dia masih istriku seperti gadis yang aku jumpai pertama kali dulu. Matanya telah menundukanku sejak perjumpaan pertama. Menatap matanya seolah aku menemukan dunia yang belum pernah kulihat. Meskipun demikian, aku tak merasa asing dengan dunia yang dia perlihatkan. Sejak saat itulah aku berkeyakinan untuk tinggal dalam dunianya.

Kudengar dari dalam rumah suara anak-anak berebut piring. "Paaaakkk... Paaaakkk.. Ini piringku kan, Pak." Kumatikan rokok yang kupegang di asbak demi mendengar suara anak perempuanku menuju ke arahku. "Ada apa kakak sayaaanng"
"Pak, adik mau merebut piringku. Kan ini piring sarapanku.."
"Iya, ini piring sarapan kakak. Mungkin adik hanya ingin meminjam sekali ini. Kan masih banyak piring di dapur, kakak bisa pakai piring yang mana aja."
"Nggak mau!" Jawab kakak cemberut.
"Gimana kalau kalian bertukar piring? Kakak sarapan pakai piringnya adik, piring adik dipakai kakak?" Aku coba memberi pilihan pada kakak. "Tapi ini kan piring cewek. Tuh, gambarnya aja bunga-bunga. Piring adik kan gambar mobil, buat cowok"
"Ok, bunga-bunga buat cewek dan mobil buat cowok. Sekarang bapak tanya sama kakak. Kakak ke sekolah naik apa?
"Mobil"
"Terus, siapa yang kebagian menyiram bunga sore hari?"
"Adik"
"Nah, kakak naik mobil ke sekolah padahal kakak kan cewek dan adik mau menyirami bunga walaupun cowok."
"Kan aku bantuin ibu bersihin rumah, Pak" Wajah kakak masih cemberut.
"Iya, bapak tahu kakak kebagian tugas bantuin ibu bersih-bersih rumah. Maksud bapak, bunga-bunga nggak harus buat cewek dan mobil nggak harus buat cowok. Cewek atau cowok boleh naik mobil dan cewek atau cowok boleh bermain bunga-bunga. Lagian, baru hari ini adik pengen pinjam piringnya kakak kan.. Kakak kan udah gede, udah kelas enam lho.. Bilang aja sama adik, pinjamnya cuman hari ini aja. Ok?" Aku mencium keningnya.
"Ya udah deh, kakak ngalah." Dia kembali ke meja makan dengan wajah masih cemberut.
Aku kembali menyalakan rokok kelimaku dari asbak yang baru terhisap beberapa kali tadi.

Aku membayangkan berada di benua eropa, di kota tempat gerhana matahari dapat dilihat secara langsung. Kujelajahi dunia lewat internet. Aku sengaja memilih Kepulauan Faroe karena kata 'kepulauan' seakan memberikan ikatan lebih padaku. Sama seperti negeriku, berbentuk kepulauan. Dalam bayanganku Kepulau Faroe memiliki kontur alam yang sama dengan Indonesia. Sama-sama memiliki pegunungan dan pantai meskipun iklimnya berbeda. Kepulauan Faroe memiliki iklim, musim panas dan musim dingin yang sejuk yang membalut 18 pulaunya sedangkan Indonesia musim kemarau dan musim hujan. Kunikmati kopi buatan istriku sambil terus membaca-baca tentang Kepulauan Faroe.

Nama Faroe dalam bahasa faroe berati domba. Aku terhenti pada arti kata faroe. Domba. Dalam agama yang aku yakini domba adalah hewan yang memiliki posisi penting. Yesus yang dinyatakan sebagai mesias lahir dibekas kandang domba. Kemudian semasa hidupnya, di dalam injil tertulis, dia dinyatakan juga sebagai gembala. Aku mencoba mengaitkan faroe dengan Yesus. Mungkinkah kedatangan Yesus yang kedua kalinya, seperti yang dipercayai kaum nasrani, akan terjadi di Kepulauan Domba? Ah, aku segera menghapus kernyitan di dahiku dan kembali menelusuri Kepulauan Faroe. Hasil penelusuranku mengatakan populasi domba di Kepulauan Faroe memang padat, mungkin inilah sebab kepulauan yang beribukota di Torshavn dinamai Kepulauan Domba.

Total luas Kepulauan Faroe hanya 1.399 kilometer persegi terletak di lepas pantai Eropa Utara, di antara Laut Norwegia dan Samudra Atlantik Utara. Luas wilayahnya jauh lebih kecil ketimbang pulau Sumatera yang menduduki peringkat keenam pulau terluas di dunia dan menduduki peringkat kedua di Indonesia setelah pulau Kalimantan, dengan total luas 420.000 kilometer persegi. Tengah asyik menjelajahi Faroe, dari dalam anak laki-lakiku berteriak. "Paaaakkk... Paaaakk.. Berangkat sekolah dulu." Dia mencium tanganku, ciuman dikeningnya sebagai balasanku.
"Weeeeeekkkk aku duluan." Dia mengejek kakaknya lalu berlari  masuk mobil. "Biarin!" Jawab kakak ketus.
Kakak mencium tanganku, tapi dia menghentikanku ketika aku akan mencium keningnya, "Stop! Bapak bauk rokok!" Aku tersenyum mendengar nada protes anak perempuanku. "Tapi bapak boleh cium kaaann.." Aku menggodanya. "Boleh. Tapi cuman satu detik! Karena bapak bauk rokok!" "Ok, satu detik." Aku menciumnya kilat. Lalu kakak menyusul adik yang sudah duduk di kursi depan mobil. Istriku memandangi asbak. "Empat.. Limaaa" Dia menggeleng-nggelengkan kepala.
"Boleh. Tapi cuman sedetik!" Istriku menirukan gaya bicara kakak. Kucium kening istriku, "Hati-hati di jalan yaa.." Aku bergegas membuka pintu gerbang sementara itu istriku menyetir mundur mobil keluar dari garasi. "Pak, habis ngantar aku mau nemanin temanku pesan katering buat pernikahan adiknya ya?" Aku mengangguk. Kupandangi mobil berjalan perlahan hingga hilang di belokan.  Gerbang kembali kututup.

Niatku hendak kembali menyusuri Kepulauan Faroe tapi tanaman hias koleksi istriku yang berada di pekarangan rumah yang tak seberapa luasnya seolah menggoda untuk dilihat. Sejak belum menikah denganku, istriku sudah gemar mengoleksi bunga mawar dan kaktus. Dulu, semasa pacaran pernah kutanyakan padanya tentang kegemarannya mengoleksi tanaman berduri itu. Dia mengatakan, setiap keindahan yang tercipta tak terlepas dari ketidak indahan diantaranya, seperti aku berada di dekat ketidak indahan sekarang ini. Waktu itu dia menjawab sambil tertawa, akupun mendengarnya turut tertawa. Aku tertawa karena menganggap jawaban istriku hanya seloroh semata. Aku tahu bahwa aku adalah mawar dan kaktus di hatinya.
Kupandangi bunga yang bertengger di antara duri-duri itu. Perpaduan antara keindahan dan rasa sakit. Tiba-tiba aku merasakan kesepian yang dalam ketika terus memandangi setangkai mawar. Betapa sepinya keindahan itu. Betapa sakitnya jalan menuju keindahan. Apakah ini yang dirasakan istriku? Kontan aku lari masuk ke rumah. Kupandangi tiap inchi rumahku. Kupandangi foto pernikahan dengan istriku. Kupandangi foto kami bersama kedua anakku. Tak ada yang kurang dalam kehidupan kami. Senyum di wajah istri dan anak-anakku adalah pancaran kebahagian itu.
Ah, sepi kian menderaku. Inikah yang dirasakan istriku selepas aku dan anak-anak ke luar dari pintu gerbang? Aku seolah merasakan kesepian yang mungkin dirasakan istriku setelah rutinitasnya di rumah selesai. Menunggu kepulanganku dan anak-anak. Oh, betapa lambatnya waktu menunggu yang dijalani istriku setiap hari. Ah, mengapa aku jadi sentimentil begini. Mungkinkah ini efek kegelisahan terhadap gerhana matahari total? Jam di dinding menunjuk diangka tujuh, masih delapan jam menuju gerhana matahari total di Kepulauan Faroe. "Jelajahi Faroe.. Jelajahi Faroe.. Jelajahi Faroe.." Kalimat itu terus mengkomat-kamit di mulut sampai aku duduk menghadap laptop.

Lantunan Requim milik Mozart, di laptop, makin mempertebal gelisahku. Kunyalakan batang keenam rokokku mengusir kesepian yang mendera batin.


(Bersambung)





No comments: