Tuesday 13 September 2016

Lelaki Harimau : Gaya, Daulat Tuan!

Lelaki Harimau : Gaya, Daulat Tuan!


“Senja ketika Margio membunuh Anwar Sadat, Kyai Jahro tengah masyuk dengan ikan-ikan di kolamnya, ditemani aroma asin yang terbang di antara batang kelapa, dan bunyi falseto laut, dan badai jinak merangkak di antara ganggang, dadap, dan semak lantana. Kolamnya menggenang di tengah perkebunan coklat, yang meranggas kurang rawat, buah-buahnya kering dan kurus tak lagi terbedakan dengan rawit, hanya berguna bagi pabrik yang merampok daunnya setiap petang. Di tengah perkebunan, mengalir sungai kecil penuh dengan ikan gabus dan belut, dikelilingi rawa yang menampung tumpahan arus kala banjir”



Demikianlah tiga kalimat pembuka novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan yang terbit tahun 2004. Sebuah pembukaan cerita yang langsung menusuk rasa penasaran pembacanya. Pengarang cukup berhasil jika memang berniat menghadirkan rasa penasaran. Tapi pada sisi lain, tiga kalimat pembuka tersebut juga membangkitkan rasa kesal. Betapa tidak? Konflik yang bagaikan letusan tiba-tiba gunung berapi itu disambung dengan penggambaran situasi dan setting terjadinya peristiwa bukan visualisasi proses Margio membunuh Anwar Sadat. Namun begitu, sah-sah saja Eka Kurniawan menggunakan teknik membuka cerita yang demikian.

Teknik pembuka cerita yang dibuat Eka mengingatkan pada kalimat pembuka novelet Metamorphosis milik Franz Kafka :

 One morning, when Gregor Samsa woke from troubled dreams, he found himself transformed in his bed into a horrible vermin. He lay on his armour-like back, and if he lifted his head a little he could see his brown belly, slightly domed and divided by arches into stiff sections. The bedding was hardly able to cover it and seemed ready to slide off any moment. His many legs, pitifully thin compared with the size of the rest of him, waved about helplessly as he looked.

Baik Eka maupun Kafka sama-sama ingin memberikan efek kejut diawal cerita. Hanya, kejutan yang dihasilkan kalimat-kalimat kafka lebih panjang durasinya. Pembaca terus dikurung oleh rasa penasaran pada peristiwa yang dialami tokoh utamanya, Gregor Samsa. Sedangkan pembuka cerita Eka seakan mengecilkan konflik yang sudah dibangun sejak kalimat pertamanya. Peristiwa pembunuhan yang dilakukan Margio menjadi kehilangan daya kejutnya.

Hal ini tidak berarti Eka tidak memperhitungkan efek yang akan ditimbulkan kalimat pembuka novel Lelaki Harimau bagi pembacanya. Eka bisa saja langsung menceritakan tragedi pembunuhan di awal cerita kemudian melanjutkan ceritanya dengan cerita yang mendukung proses konflik tersebut. Pengarang kelahiran  28 November tahun 1975 di Tasikmalaya ini sadar benar jika itu dilakukan maka novel Lelaki Harimau tidak akan menjadi novel melainkan cerita pendek. Atau, memang sebenarnya Lelaki Harimau dibangun dengan kerangka cerita pendek? Itu juga sah-sah saja. Karena  mungkin Eka beranggapan sebuah inspirasi akan memantik inspirasi berikutnya. Tapi, apalah arti inspirasi? Ini tentang teknik atau gaya bercerita.

Lelaki Harimau mengisahkan pembunuhan yang dilakukan Margio terhadap Anwar Sadat. Margio (Tokoh utama. Setidaknya tercermin dari frekuensi kebersinggungannya dengan tokoh lain dalam cerita) membunuh Anwar Sadat karena telah membuahi ibunya, Nuraeni. Dikisahkan Margio mewarisi harimau dari kakeknya yang bersemayam dalam dirinya. Harimau itu berwarna putih serupa angsa yang tidak setiap orang dapat melihatnya. Harimau dalam diri Margio inilah yang memberikan kekuatan dan keberanian Margio membunuh anwar Sadat. Tapi, musabab dibunuhnya anwar Sadat bukan itu saja. Kejadian itu hanya puncak gunung api dari konflik yang dibangun Lelaki harimau.
Kehidupan dikeluarga Margio dikategorikan  tidak harmonis. Relasi antara anak-anak dan bapak terjalin dengan tidak baik. Demikian pula relasi antara suami istri, Nuraeni dan Komar bin Syueb, dipenuhi dengan adegan kekerasan rumah tangga. Sejak perkawinannya, Komar memperlakukan Nuraeni hanya sebagai pelampiasan syahwat bahkan cenderung masokis. Setiap melakukan hubungan seks Komar memposisikan Nuraeni sebagai objek bukan mitra sejajar. Tak jarang Komar memaksakan birahinya kepada Nuraeni itupun dengan perlakuan kasar. Nuraeni tidak pernah menolak maupun melawan keinginan dan sikap kasar Komar walupun merasa seperti sedang diperkosa suaminya. Hingga lahir anak-anaknya, Nuraeni tidak pernah merasakan cinta dalam persetubuhannya dengan Komar.
Perlakuan Komar kepada Nuraeni memunculkan kebencian yang terpendam pada diri Margio.
Pada awalnya Margio merasa kasihan kepada ibunya atas perlakuan kasar bapaknya. Namun, rasa kasihan itu pupus ketika Margio mengetahui bahwa ibunya mengandung bukan dari benih bapaknya. Kemudian diketahui bahwa bapak dari anak yang dikandung ibunya adalah Anwar Sadat.  Yang tak lain adalah bapak dari Maharani, kekasih Margio.

Berbeda dengan Metamorphosis Kafka yang bergerak lurus, Lelaki Harimau mirip ayunan pendulum. Pembaca seperti diajak mengayun jauh menyusuri bangunan cerita tapi selalu kembali pada  konflik utamanya. Lima bab Lelaki harimau memiliki puncak konflik masing-masing yang mengarahkan pada konflik utama, tewasnya Anwar Sadat ditangan Margio.
Bab pertama mengisahkan konflik Margio membunuhi Anwar Sadat.
Bab kedua mengisahkan konflik antara Margio dengan bapaknya, Komar.
Bab ketiga mengisahkan konflik skandal Nuraeni, ibu Margio, dengan Anwar Sadat
Bab keempat mengisahkan konflik Margio dengan ibunya yang mengandung akibat skandalnya dengan Anwar Sadat; konflik Nuraeni dengan Komar, dan konflik Margio dengan Anwar Sadat
Bab lima mengisahkan konflik Margio dengan Maharani; dan konflik kelahiran Marian, hasil skandal Nuraeni dengan Anwar Sadat

Ibarat perang gerilya, pembaca Lelaki Hariamau dikepung dan diteror oleh konflik yang ditandai permulaannya oleh terbunuhnya Anwar Sadat ditangan Margio di awal cerita. Selanjutnya Eka mengajak pembaca  menuntaskan rasa penasaran dengan menggunakan alur flas back. Penggunaan alur flash back Lelaki Harimau sangat menunjang ayunan-ayunan konflik tersebut meskipun tiap babnya dapat berdiri sendiri sebagai bangunan cerita yang terpisah. Tapi, Eka tidak menggunakan alur flash back secara runtut, menyusun kisah penyebab terjadinya konflik utama cerita berdasarkan kronologi waktu maupun kronologi kisahan. Flash back yang diterapkan Eka mengingatkan pada gaya penutur cerita lisan tradisional. Sepertinya Eka memang mengadopsi gaya bertutur tradisi lisan  yang memiliki kecenderungan melompat -lompat dalam bercerita karena mengandalkan daya ingat yang sifatnya spontan. 

Lelaki Harimau menggunakan sudut pandang cerita orang ketiga (pencerita hanya menggambarkan cerita dan memposisikan diri sebagai orang yang melaporkan) yang dipakai Eka didukung dengan bahasa yang lebih banyak mendeskripsikan setting atau kehidupan sosial yang akhirnya menjadi jalinan penyebab konflik utama dalam cerita. Dari sini mungkin Eka ingin membebaskan diri dari penilaian benar atau salah tindakan tokoh-tokohnya. Nilai-nilai yang ada dalam tata laku kehidupan sosial dikembalikan kepada pembacanya. Yang Eka lakukan hanya sampai sebatas menceritakan (melaporkan) peristiwa dalam cerita sehingga tidak terjebak memposisikan pengarang sebagai guru atau  nabi.

Membaca Lelaki harimau yang dibagian awal buku setebal 191 halaman ini banyak dicantumkan kesan-kesan atau komentar pembaca dari dalam maupun luar negeri, yang hampir semuanya bernada positif, mengingatkan akan adanya ‘harimau’ yang bersemayam pada diri pembacanya. Mungkin harimau dalam cerita Eka merupakan makhluk mistis yang memang pada masa kakek-buyut pembaca di Indonesia diakui keberadaannya tapi pada era modern, kekinian yang mengutamakan rasionalitas, yang menganggap cerita seperti ini hanya mitos belaka perlu menyadari ‘harimau’ dalam dirinya. Sehingga keberadaan ‘harimau’ itu dapat digunakan sebagaimana mestinya hidup dalam pergaulan sosial.
Begitulah gaya bercerita Eka Kurniawan selayaknya tukang kaba jaman kakek-buyut.


Harimau Putih,
Taman Safari, Bogor - Jawa Barat - Indonesia





 13 September 2016

No comments: