Lelaki Harimau : Gaya, Daulat Tuan!
“Senja ketika Margio membunuh Anwar Sadat,
Kyai Jahro tengah masyuk dengan ikan-ikan di kolamnya, ditemani aroma asin yang
terbang di antara batang kelapa, dan bunyi falseto laut, dan badai jinak
merangkak di antara ganggang, dadap, dan semak lantana. Kolamnya menggenang di
tengah perkebunan coklat, yang meranggas kurang rawat, buah-buahnya kering dan
kurus tak lagi terbedakan dengan rawit, hanya berguna bagi pabrik yang merampok
daunnya setiap petang. Di tengah perkebunan, mengalir sungai kecil penuh dengan ikan gabus dan belut, dikelilingi rawa yang menampung tumpahan arus kala banjir”
Demikianlah tiga kalimat pembuka novel
Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan yang terbit tahun 2004. Sebuah pembukaan
cerita yang langsung menusuk rasa penasaran pembacanya. Pengarang cukup
berhasil jika memang berniat menghadirkan rasa penasaran. Tapi pada sisi lain,
tiga kalimat pembuka tersebut juga membangkitkan rasa kesal. Betapa tidak? Konflik
yang bagaikan letusan tiba-tiba gunung berapi itu disambung dengan penggambaran
situasi dan setting terjadinya
peristiwa bukan visualisasi proses Margio membunuh Anwar Sadat. Namun begitu,
sah-sah saja Eka Kurniawan menggunakan teknik membuka cerita yang demikian.
Teknik pembuka cerita yang dibuat Eka
mengingatkan pada kalimat pembuka novelet Metamorphosis milik Franz Kafka
:
One morning, when Gregor Samsa woke from
troubled dreams, he found himself transformed in his bed into a horrible
vermin. He lay on his armour-like back, and if he lifted his head a little he
could see his brown belly, slightly domed and divided by arches into stiff
sections. The bedding was hardly able to cover it and seemed ready to slide off
any moment. His many legs, pitifully thin compared with the size of the rest of
him, waved about helplessly as he looked.
Baik Eka maupun Kafka sama-sama ingin memberikan efek kejut diawal
cerita. Hanya, kejutan yang dihasilkan kalimat-kalimat kafka lebih panjang
durasinya. Pembaca terus dikurung oleh rasa penasaran pada peristiwa yang
dialami tokoh utamanya, Gregor Samsa. Sedangkan pembuka cerita Eka seakan
mengecilkan konflik yang sudah dibangun sejak kalimat pertamanya. Peristiwa
pembunuhan yang dilakukan Margio menjadi kehilangan daya kejutnya.
Hal ini tidak berarti Eka tidak memperhitungkan efek yang akan
ditimbulkan kalimat pembuka novel Lelaki Harimau bagi pembacanya. Eka bisa saja
langsung menceritakan tragedi pembunuhan di awal cerita kemudian melanjutkan
ceritanya dengan cerita yang mendukung proses konflik tersebut. Pengarang
kelahiran 28 November tahun 1975 di
Tasikmalaya ini sadar benar jika itu dilakukan maka novel Lelaki Harimau tidak
akan menjadi novel melainkan cerita pendek. Atau, memang sebenarnya Lelaki
Harimau dibangun dengan kerangka cerita pendek? Itu juga sah-sah saja.
Karena mungkin Eka beranggapan sebuah
inspirasi akan memantik inspirasi berikutnya. Tapi, apalah arti inspirasi? Ini
tentang teknik atau gaya bercerita.
Lelaki Harimau mengisahkan pembunuhan yang dilakukan Margio
terhadap Anwar Sadat. Margio (Tokoh utama. Setidaknya tercermin dari frekuensi
kebersinggungannya dengan tokoh lain dalam cerita) membunuh Anwar Sadat karena
telah membuahi ibunya, Nuraeni. Dikisahkan Margio mewarisi harimau dari
kakeknya yang bersemayam dalam dirinya. Harimau itu berwarna putih serupa angsa
yang tidak setiap orang dapat melihatnya. Harimau dalam diri Margio inilah yang
memberikan kekuatan dan keberanian Margio membunuh anwar Sadat. Tapi, musabab
dibunuhnya anwar Sadat bukan itu saja. Kejadian itu hanya puncak gunung api
dari konflik yang dibangun Lelaki harimau.
Kehidupan dikeluarga Margio dikategorikan tidak harmonis. Relasi antara anak-anak dan
bapak terjalin dengan tidak baik. Demikian pula relasi antara suami istri,
Nuraeni dan Komar bin Syueb, dipenuhi dengan adegan kekerasan rumah tangga.
Sejak perkawinannya, Komar memperlakukan Nuraeni hanya sebagai pelampiasan
syahwat bahkan cenderung masokis. Setiap melakukan hubungan seks Komar
memposisikan Nuraeni sebagai objek bukan mitra sejajar. Tak jarang Komar
memaksakan birahinya kepada Nuraeni itupun dengan perlakuan kasar. Nuraeni
tidak pernah menolak maupun melawan keinginan dan sikap kasar Komar walupun merasa
seperti sedang diperkosa suaminya. Hingga lahir anak-anaknya, Nuraeni tidak
pernah merasakan cinta dalam persetubuhannya dengan Komar.
Perlakuan Komar kepada Nuraeni memunculkan kebencian yang
terpendam pada diri Margio.
Pada awalnya Margio merasa kasihan kepada ibunya atas perlakuan
kasar bapaknya. Namun, rasa kasihan itu pupus ketika Margio mengetahui bahwa
ibunya mengandung bukan dari benih bapaknya. Kemudian diketahui bahwa bapak
dari anak yang dikandung ibunya adalah Anwar Sadat. Yang tak lain adalah bapak dari Maharani,
kekasih Margio.
Berbeda dengan Metamorphosis Kafka yang bergerak lurus, Lelaki
Harimau mirip ayunan pendulum. Pembaca seperti diajak mengayun jauh menyusuri
bangunan cerita tapi selalu kembali pada
konflik utamanya. Lima bab Lelaki harimau memiliki puncak konflik masing-masing yang mengarahkan pada konflik utama, tewasnya Anwar Sadat
ditangan Margio.
Bab pertama mengisahkan konflik Margio membunuhi Anwar Sadat.
Bab kedua mengisahkan konflik antara Margio dengan bapaknya,
Komar.
Bab ketiga mengisahkan konflik skandal Nuraeni, ibu Margio, dengan
Anwar Sadat
Bab keempat mengisahkan konflik Margio dengan ibunya yang
mengandung akibat skandalnya dengan Anwar Sadat; konflik Nuraeni dengan Komar,
dan konflik Margio dengan Anwar Sadat
Bab lima mengisahkan konflik Margio dengan Maharani; dan konflik
kelahiran Marian, hasil skandal Nuraeni dengan Anwar Sadat
Ibarat perang gerilya, pembaca Lelaki Hariamau dikepung dan
diteror oleh konflik yang ditandai permulaannya oleh terbunuhnya Anwar Sadat
ditangan Margio di awal cerita. Selanjutnya Eka mengajak pembaca menuntaskan rasa penasaran dengan menggunakan
alur flas back. Penggunaan alur flash back Lelaki Harimau sangat
menunjang ayunan-ayunan konflik tersebut meskipun tiap babnya dapat berdiri sendiri
sebagai bangunan cerita yang terpisah. Tapi, Eka tidak menggunakan alur flash back secara runtut, menyusun kisah penyebab terjadinya konflik utama cerita berdasarkan kronologi waktu maupun kronologi kisahan. Flash back yang diterapkan Eka mengingatkan pada gaya penutur cerita lisan tradisional. Sepertinya Eka memang mengadopsi gaya bertutur tradisi lisan yang memiliki kecenderungan melompat -lompat dalam bercerita karena mengandalkan daya ingat yang sifatnya spontan.
Lelaki Harimau menggunakan sudut pandang cerita orang ketiga (pencerita hanya
menggambarkan cerita dan memposisikan diri sebagai orang yang melaporkan) yang
dipakai Eka didukung dengan bahasa yang lebih banyak mendeskripsikan setting
atau kehidupan sosial yang akhirnya menjadi jalinan penyebab konflik utama
dalam cerita. Dari sini mungkin Eka ingin membebaskan diri dari penilaian benar atau salah
tindakan tokoh-tokohnya. Nilai-nilai yang ada dalam tata laku kehidupan sosial
dikembalikan kepada pembacanya. Yang Eka lakukan hanya sampai sebatas
menceritakan (melaporkan) peristiwa dalam cerita sehingga tidak terjebak memposisikan
pengarang sebagai guru atau nabi.
Membaca Lelaki harimau yang dibagian awal buku setebal 191 halaman
ini banyak dicantumkan kesan-kesan atau komentar pembaca dari dalam maupun luar negeri, yang hampir semuanya bernada positif, mengingatkan akan adanya ‘harimau’ yang
bersemayam pada diri pembacanya. Mungkin harimau dalam cerita Eka
merupakan makhluk mistis yang memang pada masa kakek-buyut pembaca di Indonesia diakui
keberadaannya tapi pada era modern, kekinian yang mengutamakan rasionalitas, yang menganggap cerita seperti
ini hanya mitos belaka perlu menyadari ‘harimau’ dalam dirinya. Sehingga
keberadaan ‘harimau’ itu dapat digunakan sebagaimana mestinya hidup dalam
pergaulan sosial.
Begitulah gaya bercerita Eka Kurniawan selayaknya tukang kaba jaman kakek-buyut.
Begitulah gaya bercerita Eka Kurniawan selayaknya tukang kaba jaman kakek-buyut.
Harimau Putih, Taman Safari, Bogor - Jawa Barat - Indonesia |
13 September 2016
No comments:
Post a Comment