Wednesday 14 January 2015

Benarkah Suara Anak Muda Didengar

Harus saya akui bahwa judul yang sengaja saya terakan pada tulisan ini bernada pesimisme. Rasa pesimis saya muncul bukan tanpa alasan melainkan bertolak dari pengalaman. Namun, sebelum lebih lanjut menuliskan pengalaman dan pemikiran, saya teringat sebuah pesan positif dari sikap pesimisme, yaitu seseorang tidak menciptakan kapal laut hanya untuk disandarkan di pelabuhan tetapi dilayarkan, mengarungi lautan-menundukkan gelombang- yang dari peristiwa berlayar tersebut sang pesimis menciptakan pelampung.


Tulisan ini memang berangkat dari kepesimisan. Ah, saya jadi teringat pesan guru Bahasa Indonesia yang mengatakan, tidak baik mengulang kata atau kalimat yang sama pada paragraf berikutnya. Kali ini biarlah saya dianggap membangkang dari kaidah-kaidah penulisan yang baik dan benar, pesan guru saya tersebut. Sebab, harus saya akui bahwa saya bukanlah orang paling benar, paling mendengar, paling khusyuk, paling rohani, atau paling memahami dan menjalani perintah Tuhan yang termaktub dalam firmanya dikehidupan sehari-hari. Saya masih sering melenceng ke kanan, serong ke kiri menjalani hidup.

Mengapa saya harus mengakui itu semua? Karena kegundahan yang terkait judul di atas muncul ketika saya sedang mengikuti ibadah di gereja, pada suatu minggu.
Sore itu, naiklah pendeta ke mimbar kotbah setelah melewati urutan-urutan liturgi. Saya adalah satu dari sekian ratus jemaat yang duduk di ruang gereja. Saya duduk di sayap kiri ruang agak ke tengah dan agak di belakang. Kemampuan melihat mata saya masih sangat baik. Saya percaya pada mata bahwa pendeta yang naik ke mimbar masih sangat muda (dugaan saya umur pendeta masih di bawah saya atau paling tidak seumuran dengan saya dan baru ditabalkan kependetaannya). Ibarat pilot, jam terbangnya tidak lebih dari 1000 jam.

Selepas berdoa, tanpa ada perkenalan seperti biasa yang dilakukan pendeta tamu, pendeta langsung mengajak jemaat menyimak bacaan alkitab dari kitab Yunus yang dibacanya sendiri. Selesai membaca pendeta langsung masuk ke dalam kotbah. Jam terbang kotbah pendeta yang belum banyak termanifestasi pada pengucapannya. Pengucapan atau pelafalan kalimat satu dengan kalimat berikutnya memiliki jeda yang cukup panjang. Dalam penghitungan iseng-iseng saya, jeda antar kata dan kalimat rata-rata tiga detikan. Jeda yang mencolok itu menimbulkan kesan kalimatnya terputus-putus meskipun masih dalam satu kalimat pengucapan.


Di sela-sela mendengarkan kotbah, di dalam hati, saya memaklumkan kepada diri terhadap kenyataan; pendetanya masih muda, jam terbangnya masih sedikit. Dari sini saya berkesimpulan bahwa pendetanya mengalami nervous (ketegangan).
Meskipun demikian fokus saya terus terjaga pada kotbah pendeta. Lima menit berlalu terasa lama bagi saya, imbas dari ketegangan yang dialami Pak Pendeta. Efek dominonya, mata saya mulai memanfaatkan sudut-sudut di busur jangkauan penglihatan. Ke kiri, ke depan, ke kanan, saya susuri tiap derajatnya memperhatikan jemaat-jemaat. Dalam hati saya bertanya, apakah mereka mengalami hal yang sama dengan saya? Tapi, telinga saya tetap berjaga pada suara kotbah Pak Pendeta yaitu tentang ketidaktaatan nabi Yunus kepada perintah Allah (kisah yang sudah saya dengarkan sejak masih duduk di bangku anak-anak sekolah minggu).

Pengamatan saya membawa pada praduga tak bersalah bahwa banyak jemaat yang mengalami kebosanan. Saya melihat ada yang berbisik-bisik dengan sebelahnya. Ada yang bersedakep dengan kepala tertunduk (lebih mirip terkantuk-kantuk). Ada yang asyik bermain telepon seluler. Ada yang membaca kertas warta jemaat yang berisi pengumuman. Banyak juga yang tetap mengarahkan pandangan ke arah wajah pendeta. Sementara itu suara kotbah pendeta memiliki saingan di telinga saya. Dua perempuan yang duduk di belakang saya sedang ngerumpi tentang si ini-si itu.

Sepuluh menit berlalu. Saya melihat ada majelis yang mengkerutkan kening (saya tidak tahu apa makna dari kerutannya itu). Sedangkan majelis lainnya melempar senyum kepada rekan majelis yang di sampingnya (saya juga tidak tahu arti senyuman itu). Dan, Pak Pendeta terus mensugesti saya bahwa Allah penuh kasih dan panjang sabar memberikan pengampunan bagi umat yang bertobat (masih dengan pengucapan yang putus-putus).
Pendeta menceritakan buku yang pernah dibacanya. Buku tentang sekolah anjing. Pada pemaparan ceritanya, saya menduga, pendeta menggunakan gaya bahasa humor satiris. Dia menceritakan sekolah anjing tersebut terbagi dalam dua jurusan. Jurusan pertama, kelas bagi anjing penuntun yang dapat menyeberangkan jalan dan mengetahui warna lampu trafficlight. Jurusan kedua, kelas untuk anjing pelacak. Di sini pendeta menekankan pada kemampuan anjing mentaati lampu merah trafficlight yang berbanding terbalik dengan kemampuan manusia untuk mentaati lampu merah maupun rambu-rambu lalu lintas. Dalam bahasa sederhana saya, "Lebih mudah membuat anjing taat dari pada mengajari ketaatan kepada manusia." Namun, saya tidak melihat respon humor dari jemaat. Pendeta telah mengalami kegagalan menggunakan retorika karena sendat-sendat pengucapannya. Betapa ketegangan dalam diri pendeta muda ini telah memenjarakan kemampuan retorikanya. Padahal, mungkin, sang pendeta sudah mempersiapkan kotbah semalaman. Berdoa, memohon bimbingan Tuhan agar diberi hikmat dan penerangan tentang isi kotbah yang harus disampaikannya kepada jemaat. Dan saya masih maklum.

Melihat sikap majelis yang duduk di depan, saya jadi tertarik lagi memperhatikan sikap jemaat yang usianya kira-kira di atas Pak Pendeta, pada radius 180 derajat bujur mata saya. Ada yang asyik membaca warta (ini paling banyak dilakukan), ada yang menundukkan kepala, ada yang ngobrol dengan sampingnya, ada yang membaca alkitab, dan ada yang tetap mengarahkan pandangan ke arah pendeta. Dan, saya melirik ke kanan-melirik ke kiri.

Pada akhir kotbah pendeta memberikan anekdot. Dia menceritakan kejadian sebuah pesawat yang berisi empat penumpang yaitu, pilot, ahli ekonomi, pensiunan pendeta, dan pemuda. Ditengah penerbangan mesin pesawat mengalami kerusakan. Pilot kemudian sibuk memeriksa dan memperbaiki kerusakan yang kemungkinan besar mengakibatkan jatuhnya pesawat. Kenyataan pahitnya, pesawat itu hanya dilengkapi dua parasut. Pada situasi tegang itu munculah sikap egois untuk menyelamatkan diri. Bermula dari ahli ekonomi yang mengatakan dialah yang pantas menggunakan parasut karena tenaga dan pemikirannya dibutuhkan negara. Sesaat kemudian ahli ekonomi meraih ransel dan terjun dari pesawat. Maka, tinggalah satu ransel parasut. Rasa tanggung jawab pilot membuatnya tidak peduli pada keselamatan nyawanya. Pilot terus berusaha memperbaiki pesawat. Sementara itu, pensiunan pendeta menyuruh pemuda agar meyelamatkan diri menggunakan parasut yang tersisa. Pensiunan pendeta itu merasa sudah cukup merasakan asam garam kehidupan sehingga memberikan kesempatan hidupnya bagi si pemuda. Pemudalah yang pantas diselamatkan untuk melanjutkan kehidupan. Tapi, Tuhan berkehendak lain. pemuda itu mengatakan kepada pensiunan pendeta bahwa dirinyapun masih akan hidup karena ahli ekonomi mengambil ransel yang salah. Ahli ekonomi terjun menggunakan tas ransel milik pemuda.
Demikianlah kisah itu ditutup dengan ajakan berdoa dari pendeta. Setelah kata 'Amin' terdengarlah suara seorang pemuda yang duduk di barisan belakang saya, "Pendetanya grogi." katanya. Ah! Ya, itulah kata yang tepat untuk mengganti kata 'tegang', benakku seolah menemukan definisi yang tepat bagi situasi yang dialami pendeta.

Tapi, bukan grogi yang dialami pendeta itu yang menjadi kegundahan saya. Bagi saya, tegang atau grogi adalah kewajaran. Setiap orang pasti akan mengalami grogi bila tak biasa berbicara di depan banyak orang, tak terkecuali yang dialami pendeta muda ini. Bahkan, saya beranggapan Tuhan turut bersuara dalam suara putus-putus pendeta. Sebab saya yakin, pendeta muda atau orang yang baru ditahbiskan menjadi pendeta memiliki semangat melayani yang masih berkobar-kobar. Karena belum mengalami degradasi semangat akibat kejenuhan maupun konflik dan friksi dalam pelayanan. Persoalan mengatasi grogi itu berkait dengan kebiasaan atau jam terbang dan bakat retorika setiap individu. Semakin terbiasa berkotbah pasti grogi akan hilang.

Kegundahan di gereja itu terbawa sampai saya tiba di rumah. Pertanyaan-pertanyaan bermunculan dipikiran saya. apakah kotbah pendeta tadi didengar jemaat? Lebih jauh lagi, apakah kotbah pendeta muda di dengarkan jemaat yang usianya sama dengan pendeta muda, usia di atas pendeta muda, dan yang usianya jauh di atas pendeta muda? Lalu, apakah jemaat yang bergelar master, doktor, profesor; atau, mereka para pakar, para cerdik cendikia, dan jemaat yang berpangkat mendengarkan kotbah pendeta muda? Apakah sesama pendeta muda saling mendengarkan? Apakah pendeta emiritus, pendeta senior, pendeta-pendeta pemangku jabatan lembaga gereja, bahkan pucuk pimpinan lembaga gereja apakah  mendengarkan kotbah pendeta muda?


Apakah saya telah benar-benar mendengarkan?




21 September 2014


No comments: