Tuesday 13 September 2016

Norwegian Wood : Bergerak Dalam Dekapan Sepi

Norwegian Wood : Bergerak Dalam Dekapan Sepi

Sepi yang menjadi kesepian adalah perasaan yang tak kalah purba dari penciptaan bumi. Setiap orang pasti pernah mengalami perasaan sepi. Ada banyak cara rasa sepi merasuki hati dan kehidupan, satu di antaranya ialah kehilangan. Demikianlah yang dialami tokoh utama, Toru Watanabe dalam novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami.

                                                                        ***

Tiba-tiba Watanabe merasa sepi; di dalam pesawat yang hendak tinggal landas ke bandara Hamburg, Jerman, ketika mendengar instrumentalia Norwegian Wood milik The Beatles yang mengalun dibawakan oleh sebuah orkestra. Lagu Norwegian Wood  mengantarkannya pada kenangan tentang seorang perempuan dari masa lalunya. Kenangan yang tersimpan selama 18 tahun itu menyeruak dari dadanya. Masa-masa bersama perempuan bernama Naoko terasa dekat bagi Watanabe. Naoko dikenalnya dari Kizuki, sahabatnya sejak masih sekolah menengah. Naoko dan Kizuki sudah berteman sejak kanak-kanak dan menjalin hubungan percintaan remaja. Namun, Kizuki memilih bunuh diri diusianya yang ke-17 tahun,  meningggalkan luka menganga bagi Naoko juga Watanabe.
Setelah lulus dari SMA, Watanabe memutuskan  kuliah di Tokyo, meninggalkan kampungnya, kekasihnya, dan kenangannya terhadap Kizuki. Kehilangan sahabat membuat Watanabe berpikir tentang kehidupan dan kematian. Sejak itu Watanabe berkesimpulan bahwa kematian bukan lawan dari kehidupan tetapi ada sebagai bagiannya.
Selama kuliah Watanabe tetap berhubungan dengan Naoko yang berkuliah di universitas khusus perempuan, di pinggiran Musashino. Watanabe menyadari bahawa Naoko belum menerima kenyataan Kizuki bunuh diri, untuk itulah dia selalu ada bagi Naoko. Watanabe selalu siap kapanpun Naoko ingin menemuinya sekedar jalan-jalan mengelilingi Tokyo. Hingga pada saat ulang tahun Naoko yang ke-20 keduanya saling berbagi hasrat. Mereka menyatukan tubuh dan nafas sepanjang malam.
Peristiwa yang terjadi hanya sekali itu meninggalkan jejak panjang di tubuh maupun batin Watanabe. Dia tidak mampu menghilangkan kenangan bersama Naoko meskipun mencoba melakukan hal yang sama dengan perempuan lain. Ditambah lagi, Naoko menghilang tanpa kabar sejak malam ulang tahunnya yang ke-20. Naoko, dalam sebuah surat mengatakan pada Watanabe agar tidak mencarinya karena sedang melakukan pengobatan di kampungnya, Kobe.
Watanabe terus melanjutkan hidupnya. Di asrama dia bersahabat dengan Nagasawa. Persahabatan mereka bermula dari kesamaan membaca novel Great Gatsby karya Scott Fitzgerald. Pada periode persahatan dengan Nagasawa ini Watanabe sering bergonta-ganti tidur dengan perempuan. Mereka sering keluar masuk kafe atau pub hanya untuk minum sake dan mencari mahasiswi yang mau diajak tidur, one night stand.
Watanabe terus bergerak dari satu perempuan ke perempuan lain. Tapi, semakin Watanabe bergerak semakin dia merasakan hampa. Ruang sepi di hatinya tidak terisi oleh perempuan-perempuan yang tidur dengannya. Pikirannya tidak bisa lepas dari Naoko. Meskipun saat yang bersamaan Watanabe dekat dengan Midori, teman satu mata kuliah di kampusnya. Midori, sudah memiliki pacar tapi tetap ingin dekat dengan Watanabe. Mereka berbagi cerita apa saja hingga hal-hal cabul dibahas dengan ringan tanpa perasaan tabu. Seolah-olah mereka adalah pasangan kekasih.
Hubungan Watanabe dengan Midori bisa dibilang jenaka. Meskipun sering membahas tentang seks, keduanya tidak mau berhubungan badan. Midori hanya menginginkan dirinya dijadikan objek onani Watanabe. Sementara Watanabe tidak bisa onani dengan membayangkan Midori. Hati Watanabe terus mengarah pada Naoko. Pikirannya tak pernah lepas dari tubuh terlebih untuk mengetahui keadaan Naoko.
Akhirnya, Watanabe mengunjungi tempat Naoko dirawat, di Kyoto. Dalam perjumpaan beberapa hari itu Watanabe menceritakan semua hal. Hubungannya dengan teman sekamar, tentang Nagasawa dan kekasihnya, tentang Midori, dan ketidakmampuannya melupakan peristiwa ulang tahun ke-20 Naoko.
Selama proses penyembuhan Naoko didampingi oleh seorang perempuan bernama Reiko. Reiko sangat ahli memainkan gitar terlebih karya-karya The beatles.  Dalam kunjungan itu Watanabe juga dekat dengan Reiko yang berikutnya jadi penghubung Watanabe dan Naoko melalui surat karena Naoko tidak mampu lagi menulis surat.
Kunjungan Watanabe itu menjadi perjumpaan terakhir dengan Naoko. Kondisi Naoko semakin memburuk dan berakhir dengan bunuh diri. Sekali lagi Watanabe mengalami kehilangan. Luka menganga kian koyak di hatinya.

                                                                         ***

Norwegian Wood merupakan karya yang mengangkat nama Haruki Murakami, Sastrawan sekaligus penulis best seller Jepang, di dunia karya sastra dunia. Dalam novel ini, Murakami seolah mengajak pembaca menyusuri kenangan hidup yang dimiliki tiap pembaca. Novelis yang lahir di Kyoto, 12 Januari 1949, tidak mengajak pembaca melupakan kenangan yang menumbuhkan rasa sepi melainkan menghadapinya. Murakami ingin menegaskan bahwa apa yang terjadi dalam hidup, baik yang baik maupun menyakitkan, tidak dapat dihilangkan, terlebih kenangan orang yang dicintai. Meskipun novel yang dicetak KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), dalam terjemahan bahasa Indonesia oleh Jonjon Johana bertebal 426 halaman, tidak sekalipun secara verbal mengungkapkan kata cinta tokoh utamanya namun kata tersebut menjadi tulang punggung jalinan ceritanya.
Entah alasan apa yang membuat Murakami, yang memulai dunia kepenulisannya diusia 29 tahun, tidak menggunakan kata cinta untuk menjelaskan perasaan Watanabe. Apakah Murakami sedang menjelaskan keegoisan laki-laki berkaitan dengan perasaannya-atau tidak-karena sepanjang cerita ditampilkan sosok perempuanlah yang memiliki kata cinta -Tokoh-tokoh laki-laki Norwegian Wood seakan memandang sebelah mata kata cinta dengan tidak pernah mengucapkannya. Sementara tokoh-tokoh perempuan lebih berani mengakui dan mengatakannya- Ataukah, Murakami ingin mengatakan cinta hanya sebagai kata kerja saja yang diwujudkan melalui mencari, memperhatikan, berjumpa, dan bersenggama.
Jika dalam kehidupan nyata perempuan selalu berposisi menunggu cinta dari laki-laki, Norwegian Wood sebaliknya. Di sini Watanabe yang berposisi menunggu. Dia menunggu Naoko selesai dengan dirinya. Watanabe menunggu Midori tegas dengan perasaannya. Kekasih Nagasawa menunggu kesiapan Nagasawa. Dan, perempuan-perempuan di pub atau kafe dicari-cari untuk diajak berkencan. Ini selaras dengan konsep keluarga jepang modern yang berpusat pada ibu. Dengan kata lain, perempuan memiliki kebebasan dalam bersikap dan-dapat dikatakan-mendominasi dalam sebuah relasi perempuan dan laki-laki.
Melalui Norwegian Wood, Murakami seakan ingin mengatakan bahwa soal cinta laki-laki juga menunggu. Hak mengutarakan cinta tidak memposisikan hak laki-laki sebagai urutan pertama. Tak perlu perempuan menempatkan diri sebagai objek lelaki dan pasif. Perempuan punya hak yang sama mengutarakan cinta lebih dulu. Perempuan punya hak mengikat (berinisiatif) laki-laki dalam relasi cinta tanpa perlu menunggu sedang soal penerimaan itu urusan belakangan. Urusan cinta, laki-laki dan perempuan sederajat.
Murakami yang gaya penulisannya terpengaruh kafka ini juga menegaskan, sisi sentimentil dimiliki setiap kelamin. Kenangan milik siapa saja. Laki-laki juga berjuang untuk lepas dari kenangan manis dan terutama kenangan pahit. Laki-laki juga bisa kehilangan. Hati laki-laki juga bisa koyak oleh kenangan. Laki-laki juga ingin lepas dari keterpurukan kenangan.
Barangkali ketidakmampuan Watanabe mengucapkan cinta yang mempertebal rasa sepi di hatinya membuat dia terus bergerak dari satu perempuan ke perempuan lain, menjalin hubungan dengan Midori bahkan melakukan hubungan seks dengan Reiko tapi tetap tak juga mampu lepas dari kesepian.
Jarak estitik cerita yang dekat dengan keseharian membuat cerita Norwegian Wood enak dibaca. Pengalaman kehilangan tentu dialami setiap orang sehingga membuat Norwegian Wood, ditulis Murakami tahun 1987, seperti mendengarkan sahabat yang mencurahkan isi hatinya apalagi ceritanya menggunakan sudut pandang orang pertama. Ah, jadi terkenang film Oshin yang diputar di televisi ketika masih berseragam merah-putih. Teringat setting filmnya; Jepang, kereta api, kimono, bakiak, salju, bunga Sakura, sumur dengan timbaan kayu, gerobak, dan kontur pegunungannya. Novel ini memang tidak secara tegas memberikan solusi keluar dari rasa sepi mengenang tapi setiap babnya menggambarkan gerak itu.
Apakah gerak itu melanggar norma atau tidak bukan yang utama. Ini jelas terlihat dari keterbukaan tokoh-tokohnya memandang hubungan seks bahkan dikemas dalam cerita yang kocak (humor). Seks tidak ditempatkan pada posisi yang sacre melainkan kebutuhan biologis semata. Tubuh manusia bermetabolisme, dan seks hanya satu caranya. Semangat Pleasure Prinsiple Freudian (tindakan mencari kenikmatan dan menghidari rasa sakit) begitu kental di sini. Freud beranggapan, ketegangan-ketagangan atau kecemasan muncul karena tidak terpenuhinya kebutuhan alam bawah sadar, termasuk di dalamnya kebutuhan biologis, yaitu seks. Bahkan, Freud meyakini tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan mengganggu keseimbangan kepribadian (id, ego, dan superego) seseorang.
Murakami menggambarkan seks tidak perlu diperlakukan secara spesial. Seks tidak lebih dari sekedar obrolan menghantarkan kehangatan sake (minuman kas Jepang) ke tubuh. Atau, sebaliknya, kehangatan sake menjadi pembuka kehangatan bersatunya tubuh laki-laki dan perempuan. Di sisi lain, ketika Watanabe berusaha menahan atau tidak mampu melakukan hubungan intim dengan perempuan lain karena terus terbayang tubuh Naoko menjadi semacam paradok sikap Watanabe memandang seks. Setidaknya sampai Naoko bunuh diri, Watanabe tidak melakukan hubungan seks dengan perempuan lain. Periode ini membuat Watanabe seperti berdiri pada sebuah perbatasan (di antara) hingga membuatnya semakin gamang jika dipandang dengan Pleasure Prinsiple Freud. Kebutuhan biologis yang Watanabe tahan membuat dirinya kacau sehingga melakukan perjalanan kaki tanpa tujuan.
Rupanya, Murakami menegaskan seks bukan pintu keluar dari sepi. Watanabe terus didekap sepi hingga usia ke-37 tahun duduk di dalam pesawat menuju Jerman.

Demikian tubuh dan pikiran bergerak dan sepi tinggal tetap.


Desire
(Taman Safari, Bogor - Jawa Barat - Indonesia)

10 September 2016






No comments: