Norwegian Wood : Bergerak
Dalam Dekapan Sepi
Sepi yang menjadi kesepian adalah perasaan yang tak kalah
purba dari penciptaan bumi. Setiap orang pasti pernah mengalami perasaan sepi.
Ada banyak cara rasa sepi merasuki hati dan kehidupan, satu di antaranya ialah
kehilangan. Demikianlah yang dialami tokoh utama, Toru Watanabe dalam novel
Norwegian Wood karya Haruki Murakami.
***
Tiba-tiba Watanabe merasa sepi; di dalam pesawat yang hendak
tinggal landas ke bandara Hamburg, Jerman, ketika mendengar instrumentalia Norwegian
Wood milik The Beatles yang mengalun dibawakan oleh sebuah orkestra. Lagu
Norwegian Wood mengantarkannya pada
kenangan tentang seorang perempuan dari masa lalunya. Kenangan yang tersimpan
selama 18 tahun itu menyeruak dari dadanya. Masa-masa bersama perempuan bernama
Naoko terasa dekat bagi Watanabe. Naoko dikenalnya dari Kizuki, sahabatnya
sejak masih sekolah menengah. Naoko dan Kizuki sudah berteman sejak kanak-kanak
dan menjalin hubungan percintaan remaja. Namun, Kizuki memilih bunuh diri
diusianya yang ke-17 tahun, meningggalkan luka menganga bagi Naoko juga
Watanabe.
Setelah lulus dari SMA, Watanabe memutuskan kuliah di Tokyo, meninggalkan kampungnya, kekasihnya,
dan kenangannya terhadap Kizuki. Kehilangan sahabat membuat Watanabe berpikir
tentang kehidupan dan kematian. Sejak itu Watanabe berkesimpulan bahwa kematian
bukan lawan dari kehidupan tetapi ada sebagai bagiannya.
Selama kuliah Watanabe tetap berhubungan dengan Naoko yang
berkuliah di universitas khusus perempuan, di pinggiran Musashino. Watanabe
menyadari bahawa Naoko belum menerima kenyataan Kizuki bunuh diri, untuk itulah
dia selalu ada bagi Naoko. Watanabe selalu siap kapanpun Naoko ingin menemuinya
sekedar jalan-jalan mengelilingi Tokyo. Hingga pada saat ulang tahun Naoko yang
ke-20 keduanya saling berbagi hasrat. Mereka menyatukan tubuh dan nafas
sepanjang malam.
Peristiwa yang terjadi hanya sekali itu meninggalkan jejak panjang
di tubuh maupun batin Watanabe. Dia tidak mampu menghilangkan kenangan bersama
Naoko meskipun mencoba melakukan hal yang sama dengan perempuan lain. Ditambah
lagi, Naoko menghilang tanpa kabar sejak malam ulang tahunnya yang ke-20.
Naoko, dalam sebuah surat mengatakan pada Watanabe agar tidak mencarinya karena
sedang melakukan pengobatan di kampungnya, Kobe.
Watanabe terus melanjutkan hidupnya. Di asrama dia bersahabat
dengan Nagasawa. Persahabatan mereka bermula dari kesamaan membaca novel Great
Gatsby karya Scott Fitzgerald. Pada periode persahatan dengan Nagasawa ini
Watanabe sering bergonta-ganti tidur dengan perempuan. Mereka sering keluar
masuk kafe atau pub hanya untuk minum sake dan mencari mahasiswi yang mau
diajak tidur, one night stand.
Watanabe terus bergerak dari satu perempuan ke perempuan
lain. Tapi, semakin Watanabe bergerak semakin dia merasakan hampa. Ruang sepi
di hatinya tidak terisi oleh perempuan-perempuan yang tidur dengannya.
Pikirannya tidak bisa lepas dari Naoko. Meskipun saat yang bersamaan Watanabe
dekat dengan Midori, teman satu mata kuliah di kampusnya. Midori, sudah
memiliki pacar tapi tetap ingin dekat dengan Watanabe. Mereka berbagi cerita
apa saja hingga hal-hal cabul dibahas dengan ringan tanpa perasaan tabu.
Seolah-olah mereka adalah pasangan kekasih.
Hubungan Watanabe dengan Midori bisa dibilang jenaka.
Meskipun sering membahas tentang seks, keduanya tidak mau berhubungan badan.
Midori hanya menginginkan dirinya dijadikan objek onani Watanabe. Sementara
Watanabe tidak bisa onani dengan membayangkan Midori. Hati Watanabe terus
mengarah pada Naoko. Pikirannya tak pernah lepas dari tubuh terlebih untuk
mengetahui keadaan Naoko.
Akhirnya, Watanabe mengunjungi tempat Naoko dirawat, di Kyoto.
Dalam perjumpaan beberapa hari itu Watanabe menceritakan semua hal. Hubungannya
dengan teman sekamar, tentang Nagasawa dan kekasihnya, tentang Midori, dan
ketidakmampuannya melupakan peristiwa ulang tahun ke-20 Naoko.
Selama proses penyembuhan Naoko didampingi oleh seorang
perempuan bernama Reiko. Reiko sangat ahli memainkan gitar terlebih karya-karya
The beatles. Dalam kunjungan itu
Watanabe juga dekat dengan Reiko yang berikutnya jadi penghubung Watanabe dan
Naoko melalui surat karena Naoko tidak mampu lagi menulis surat.
Kunjungan Watanabe itu menjadi perjumpaan terakhir dengan
Naoko. Kondisi Naoko semakin memburuk dan berakhir dengan bunuh diri. Sekali
lagi Watanabe mengalami kehilangan. Luka menganga kian koyak di hatinya.
***
Norwegian Wood merupakan karya yang mengangkat nama Haruki
Murakami, Sastrawan sekaligus penulis best seller Jepang, di dunia karya sastra dunia. Dalam novel ini,
Murakami seolah mengajak pembaca menyusuri kenangan hidup yang dimiliki tiap
pembaca. Novelis yang lahir di Kyoto, 12 Januari 1949, tidak mengajak pembaca melupakan kenangan yang menumbuhkan
rasa sepi melainkan menghadapinya. Murakami ingin menegaskan bahwa apa yang
terjadi dalam hidup, baik yang baik maupun menyakitkan, tidak dapat
dihilangkan, terlebih kenangan orang yang dicintai. Meskipun novel
yang dicetak KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), dalam terjemahan bahasa Indonesia oleh Jonjon Johana bertebal 426 halaman, tidak sekalipun
secara verbal mengungkapkan kata cinta tokoh utamanya namun kata tersebut
menjadi tulang punggung jalinan ceritanya.
Entah alasan apa yang membuat Murakami, yang memulai dunia kepenulisannya diusia 29 tahun, tidak menggunakan kata
cinta untuk menjelaskan perasaan Watanabe. Apakah Murakami sedang menjelaskan keegoisan
laki-laki berkaitan dengan perasaannya-atau tidak-karena sepanjang cerita
ditampilkan sosok perempuanlah yang memiliki kata cinta -Tokoh-tokoh laki-laki
Norwegian Wood seakan memandang sebelah mata kata cinta dengan tidak pernah
mengucapkannya. Sementara tokoh-tokoh perempuan lebih berani mengakui dan
mengatakannya- Ataukah, Murakami ingin mengatakan cinta hanya sebagai kata
kerja saja yang diwujudkan melalui mencari, memperhatikan, berjumpa, dan
bersenggama.
Jika dalam kehidupan nyata perempuan selalu berposisi menunggu
cinta dari laki-laki, Norwegian Wood sebaliknya. Di sini Watanabe yang
berposisi menunggu. Dia menunggu Naoko selesai dengan dirinya. Watanabe
menunggu Midori tegas dengan perasaannya. Kekasih Nagasawa menunggu kesiapan
Nagasawa. Dan, perempuan-perempuan di pub atau kafe dicari-cari untuk diajak berkencan. Ini selaras dengan konsep keluarga jepang
modern yang berpusat pada ibu. Dengan kata lain, perempuan memiliki kebebasan
dalam bersikap dan-dapat dikatakan-mendominasi dalam sebuah relasi perempuan
dan laki-laki.
Melalui Norwegian Wood, Murakami seakan ingin mengatakan
bahwa soal cinta laki-laki juga menunggu. Hak mengutarakan cinta tidak memposisikan hak laki-laki sebagai urutan pertama. Tak
perlu perempuan menempatkan diri sebagai objek lelaki dan pasif. Perempuan
punya hak yang sama mengutarakan cinta lebih dulu. Perempuan punya hak mengikat
(berinisiatif) laki-laki dalam relasi cinta tanpa perlu menunggu sedang soal
penerimaan itu urusan belakangan. Urusan cinta, laki-laki dan perempuan sederajat.
Murakami yang gaya penulisannya terpengaruh kafka ini juga menegaskan, sisi sentimentil dimiliki setiap
kelamin. Kenangan milik siapa saja. Laki-laki juga berjuang untuk lepas dari
kenangan manis dan terutama kenangan pahit. Laki-laki juga bisa kehilangan. Hati
laki-laki juga bisa koyak oleh kenangan. Laki-laki juga ingin lepas dari
keterpurukan kenangan.
Barangkali ketidakmampuan Watanabe mengucapkan cinta yang
mempertebal rasa sepi di hatinya membuat dia terus bergerak dari satu perempuan ke
perempuan lain, menjalin hubungan dengan Midori bahkan melakukan hubungan seks
dengan Reiko tapi tetap tak juga mampu lepas dari kesepian.
Jarak estitik cerita yang dekat dengan keseharian membuat
cerita Norwegian Wood enak dibaca. Pengalaman kehilangan tentu dialami setiap
orang sehingga membuat Norwegian Wood, ditulis Murakami tahun 1987, seperti
mendengarkan sahabat yang mencurahkan isi hatinya apalagi ceritanya menggunakan
sudut pandang orang pertama. Ah, jadi
terkenang film Oshin yang diputar di televisi ketika masih berseragam
merah-putih. Teringat setting filmnya; Jepang, kereta api, kimono, bakiak,
salju, bunga Sakura, sumur dengan timbaan kayu, gerobak, dan kontur
pegunungannya. Novel ini memang tidak secara tegas memberikan solusi keluar
dari rasa sepi mengenang tapi setiap babnya menggambarkan gerak itu.
Apakah gerak itu melanggar norma atau tidak bukan yang utama.
Ini jelas terlihat dari keterbukaan tokoh-tokohnya memandang hubungan seks
bahkan dikemas dalam cerita yang kocak (humor). Seks tidak ditempatkan pada
posisi yang sacre melainkan kebutuhan
biologis semata. Tubuh manusia bermetabolisme, dan seks hanya satu caranya. Semangat
Pleasure Prinsiple Freudian (tindakan mencari kenikmatan
dan menghidari rasa sakit) begitu kental di sini. Freud beranggapan,
ketegangan-ketagangan atau kecemasan muncul karena tidak terpenuhinya kebutuhan
alam bawah sadar, termasuk di dalamnya kebutuhan biologis, yaitu seks. Bahkan,
Freud meyakini tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan mengganggu keseimbangan
kepribadian (id, ego, dan superego) seseorang.
Murakami menggambarkan seks tidak perlu diperlakukan secara
spesial. Seks tidak lebih dari sekedar obrolan menghantarkan kehangatan sake (minuman kas Jepang) ke tubuh.
Atau, sebaliknya, kehangatan sake
menjadi pembuka kehangatan bersatunya tubuh laki-laki dan perempuan. Di sisi
lain, ketika Watanabe berusaha menahan atau tidak mampu melakukan hubungan
intim dengan perempuan lain karena terus terbayang tubuh Naoko menjadi semacam
paradok sikap Watanabe memandang seks. Setidaknya sampai Naoko bunuh diri,
Watanabe tidak melakukan hubungan seks dengan perempuan lain. Periode ini
membuat Watanabe seperti berdiri pada sebuah perbatasan (di antara) hingga
membuatnya semakin gamang jika dipandang dengan Pleasure Prinsiple Freud. Kebutuhan biologis yang Watanabe tahan
membuat dirinya kacau sehingga melakukan perjalanan kaki tanpa tujuan.
Rupanya, Murakami menegaskan seks bukan pintu keluar dari
sepi. Watanabe terus didekap sepi hingga usia ke-37 tahun duduk di dalam
pesawat menuju Jerman.
Demikian tubuh dan pikiran bergerak dan sepi tinggal tetap.
Desire (Taman Safari, Bogor - Jawa Barat - Indonesia) |
10 September 2016
No comments:
Post a Comment