Thursday 15 September 2016

Jangan Tangkapi Kunang-Kunang

Jangan Tangkapi  Kunang-Kunang

Jangan! Jangan kalian tangkapi kunang-kunang itu!  Biar dia terbang menjaga desa kita! Teriakan Firdaus membuat waktu seolah-olah berhenti bergerak . Sekumpulan anak remaja yang tengah asyik menangkapi kunang-kunang  seketika diam di tempatnya masing-masing dan mengarahkan pandangan ke sumber suara. Kenapa tidak boleh ditangkap? Pertanyaan Adam memecah suasana tablo yang terjadi beberapa detik. Kemudian Adam, remaja yang ukuran badannya melebihi teman-temannya, mendekati Firdaus, sorot matanya tajam. Apa urusanmu dengan kunang-kunang? Kenapa kami tak boleh menangkapinya? Hawa, satu-satunya perempuan dalam kumpulan berjumlah lima, menyadari gelagat tidak baik dari Adam, ditariknya bagian belakang kaos yang dipakai Adam. Dia kenal benar Adam, remaja paling bengal di desa mereka. Adam tidak pernah takut pada siapapun meskipun orang yang dia hadapi jauh lebi tua dari dirinya. Kebengalan Adam ini menetes dari bapaknya. Bapaknya mantan kepala pembegal pada masa bendera putih yang tengahnya ada bulatan berwarna merah banyak dikibarkan. Sifat bapaknya Adam turun dari kakeknya Adam, kepala dari perkumpulan preman pasar sekaresidenan pada masanya. Kalau ditarik lagi, kakek dari bapaknya Adam mungkin kepala dari kepala persekutuan jahat. Begitulah mungkin garis keturunan seperti buah jatuh tak jauh dari pokoknya. Sudahlah, Dam, anak penakut ini tak usah dianggap. Hawa membujuk Adam, mencoba mencegah terjadinya pemukulan Adam ke wajah Firdaus seperti adegan yang terjadi di kepalanya.
Badan Firdaus mulai terasa dingin. Bukan karena suhu malam lepas isya yang membuatnya dingin melainkan Adam. Sama seperti kebanyakan remaja di desanya, dia juga tidak berani menghadapi Adam. Kenapa kau diam, Fir? Kenapa kami tak boleh menangkapi kunang-kunang? Kelima anak remaja itu mengelilingi Firdaus. Hati Firdaus makin menciut tapi dia tetap berusaha tenang. Dalam kepala Firdaus sedang menyusun jawaban bagi pertanyaan Adam. Dengus nafas yang mengitarinya tidak menghadirkan kehangatan di kuduk, Firdaus makin begidik. Fragmen di kepalanya menunjukkan dia dikeplak kepala bagian belakang oleh Tonggos, tepat di pusaran ubun-ubunnya, yang berdiri di balik punggungnya. Juling, berdiri di samping kiri Firdaus, menonjok pinggang. Tonjokan yang akan membuat bintang-bintang pada pandangannya berkelipan karena perut yang belum makan malam. Bodoy, berdiri di kanan Firdaus bertugas memegangi kedua pergelangan tangan yang ditarik kebagian belakang tubuh, di atas pantat. Lalu, Adam, menginjak ibu jari kaki, mengemplang bagian depan atas kepala Firdaus, dan seterusnya sampai dia capek sendiri.
Firdaus tidak tahu harus menjawab apa. Dia juga tidak tahu kenapa tiba-tiba melarang sekumpulan remaja, temannya satu desa, padahal dia tahu itu akan mendatangkan petaka bagi dirinya karena yang dia larang adalah Adam. Entah dari mana asal keberaniannya. Awalnya dia hanya memandangi kerlap-kerlip kehijauan terbang tak beraturan di lapangan rumput, tempat pemuda desanya bermain voli yang berjarak seratus meter dari teras rumahnya. Dia merasa ada sesuatu yang aneh pada kerlap-kerlip kehijauan itu. Tidak seperti biasanya, kunang-kunang terbang lembut, kadang bergerombol, kadang menyebar di atas rerumputan lapangan. Cahaya kunang-kunang yang hinggap di rumput dan cahaya kunang-kunang yang terbang-terbang bergantian berkerlap-kerlip selalu berhasil membuat Firdaus terpesona. Dia memandangnya ibarat tarian; naik turun, ke samping kanan, ke samping kiri, demikianlah setiap malam, selepas maghrib sampai isya menjadi kewajiban bagi dirinya menikmati kerlap-kerlip kunang-kunang. Bagi Firdaus semburat cahaya kehijauan yang berasal dari tubuh kunang-kunang adalah keajaiban. Kerlap-kerlip itu menjadi noktah di gelapnya malam. Meskipun kecil, cahaya kunang-kunang serupa sinyal bagi makhluk hidup lainnya bahwa gelap tak dapat menundukkan cahaya. Tak perlu takut pada gelap sebab kunang-kunang sudah mengalahkannya. Firdaus pernah satu kali menangkap satu kunang-kunang, bukan karena ingin memain-mainkannya melainkan rasa penasaran pada sumber cahaya kunang-kunang. Dia tangkap kunang-kunang; dibolak-balikannya tubuh kecil kunang-kunang di telapak tangan kirinya. Bagian perut kunang-kunang, berkerlap-kerlip di telapak tangan kirinya, rasa penasaran juga yang membuat jari telunjuk kanan menekan perut kunang-kunang. Dia berharap menemukan semacam lampu, seperti yang dia kira dipikirannya selama ini, seperti lampu pijar di rumahnya, dari dalam perut kunang-kunang. Tak ada. Tak ada lampu sangat kecil dari perut kunang-kunang. Hanya ada cairan bening dari perut yang gepeng diikuti padamnya kerlap-kerlip kunang-kunang. Peristiwa itu memunculkan rasa bersalah dalam diri Firdaus. Dia menyesal, tak seharusnya rasa penasaran mengetahui sumber cahaya kunang-kunang membuat dia menangkap lalu membunuhnya. Semua sudah terjadi, Firdaus tak mungkin menghidupkan kunang-kunang yang dipencet menggunakan jari telunjuk kanannya. Sudah tercatat dalam sejarah hidup Firdaus meskipun hanya Firdaus, malaikat, setan, Tuhan, dan kunang-kunang yang tahu.
Firdaus juga pernah bertanya kepada beberapa orang perihal sumber cahaya kunang-kunang. Ada yang mengatakan kunang-kunang adalah jelmaan mata orang yang mati penasaran. Menurut bapaknya, kunang-kunang adalah kuku setan yang lepas dari jarinya. Tetangganya bilang, kunang-kunang adalah air mata jin. Tapi, dari sekian cerita tentang kunang-kunang, Firdaus paling suka cerita muasal kunang-kunang versi kakeknya. Kakeknya dengan sangat meyakinkan hikayat kunang-kunang adalah malaikat-malaikat yang tersesat. Konon, kehidupan ini tidak hanya yang terlihat oleh mata jasmani saja. Ada kehidupan lain yang tidak bisa kita lihat. Ketika menjelaskan tentang kehidupan yang tidak terlihat itu, kakek Firdaus menyuruhnya menutup mata, kemudian bertanya kepada Firdaus apakah dia mendengar suara kakek? Firdaus menjawab, ya mendengar, meskipun tidak mengerti yang dimaksudkan kakeknya. Otak kanak-kanaknya tidak sanggup menerima cara berpikir orang tua setua kakeknya. Kemudian kakek menyuruhnya  membuka mata kembali. Jadi, Firdaus, cucuku; Sang Maha Penguasa, pencipta dunia, pada awalnya menciptakan semuanya baik. Semuanya indah, semuanya damai hingga suatu hari malaikat kepercayaan, malaikat yang paling dicintai, ingin seperti manusia. Malaikat yang paling dicintai itu memohon kepada penciptanya agar dirinya diubah jadi manusia. Malaikat itu cemburu kepada manusia yang selalu menjadi pusat perhatian pencipta, Tuhan. Sedangkan dirinya dan malaikat lainnya hanya duduk-duduk mengawasi manusia. Ditengah  cerita kakek tiba-tiba hujan deras mengguyur. Suara halilintar dan petir menyambar-nyambar. Firdaus spontan bersembunyi di balik punggung kakeknya yang duduk di bale-bale bambu teras rumah. Tak usah takut, Firdaus, halilintar dan petir itu bukti betapa besarnya kuasa Tuhan. Hujan adalah tanda sayang Tuhan kepada manusia. Dengan air hujan rumput, bunga-bunga, pepohonan di hutan, dan padi di sawah tumbuh dan berbuah. Akhirnya kita bisa makan nasi, makan pisang, buah kelapa, duren yang kamu sukai itu. Hal-hal inilah yang membuat malaikat tadi cemburu, Firdaus. Aku takut, Kek. Firdaus berondok menutupi telinganya.
Hujan tidak berlangsung lama. Petir dan halilintar itu seolah hanya ingin mengisyaratkan Tuhan mendengar percakapan Firdaus dengan kakeknya. Dalam rintik hujan yang jatuh di pekarangan rumah, Firdaus bertanya pada kakeknya, mengapa manusia dan malaikat berbeda, Kek? Mata kakek sedikit membelalak mendengar pertanyaan Firdaus, beberapa detik kemudian berkedip-kedip lebih cepat lalu mendehem seperti  ada yang menyangkut di tenggorokannya. Manusia, kita ini, diciptakan Tuhan sebagai makhluk paling sempurna. Manusia memiliki cipta, seperti Tuhan mencipta, sehingga mampu membuat celana yang kamu pakai, membuat rumah biar kita tidak kehujanan. Manusia juga memiliki rasa; rasa ini yang menuntun manusia bersikap, bersopan santun dalam bergaul, mampu merasakan penderitaan dan kekurangan orang lain sehingga tidak hanya memikirkan atau mementingkan diri sendiri. Dan, manusia juga memiliki karsa atau kekuatan jiwa yang mendorong manusia untuk bertindak ; yang menentukan sikap dalam menjalani hidup, berjuang mencukupi kebutuhannya, berjuang menjadi manusia yang lebih berpengetahuan melalui sekolah, contohnya.
Berarti, malaikat tidak memiliki seperti manusia, seperti yang kakek bilang ya? Terus, malaikat makhluk apaan, Kek? Kakek kembali sedikit terbelalak, berkedip-kedip cepat beberapa saat, hanya kali ini dia benar-benar batuk. Kan tadi kakek sudah bilang manusia itu makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, artinya sama juga malaikat itu tidak sesempurna manusia.
Itu kan kata kakek, kata Tuhan siapa yang paling sempurna? Kakek langsung terbatuk-batuk mendengar pertanyaan Firdaus. Kalau menurut kakek, Tuhan pasti juga mengatakan manusia adalah ciptaanNya yang paling sempurna. Kalau malaikat yang diciptakan paling sempurna pasti malaikat tidak cemburu melihat perlakuan Tuhan kepada manusia. Firdaus menggaruk-garuk lututnya, penjelasan kakeknya tidak membuat dia mengerti, pengertiannya  tetap sama seperti dia belum diberi penjelasan oleh kakeknya. Berubah jadi kunang-kunangnya kapan, Kek?
Nah! Malaikat yang cemburu kemudian menghasut malaikat lainnya sehingga terkumpul sebanyak pasir di laut. Terjadilah pertempuran antara pasukan malaikat cemburu dengan malaikat yang tidak cemburu yang jumlahnya sebanyak bintang di langit. Atas peristiwa itu Tuhan murka. Tuhan tidak suka dengan perasaan cemburu tapi Tuhan juga tidak membenarkan pertempuran yang dilakukan oleh malaikat yang tidak cemburu. Tuhan kemudian menegakkan keadilan di antara dua kubu malaikat, kedua kubu sama bersalah, sama dihukum. Kubu malaikat pencemburu dihukum lempar ke dunia manusia. Dalam proses dilemparnya malaikat pencemburu ke bumi, Tuhan membuatnya bermetamorfosa menjadi kunang-kunang. Makhluk bersayap yang kecil. Serangga yang lemah namun bercahaya dan hanya terlihat di malam hari. Tuhan tetap menunjukkan rasa cintanya bagi malaikat pencemburu dengan memberikan cahaya kerlap-kerlip di perutnya. Sedangkan hukuman bagi malaikat yang tidak cemburu yaitu menjadi bintang kecil di langit.
Cerita asal-usul kunang-kunang versi kakeknya inilah yang terus Firdaus simpan dalam hatinya. Dia selalu membayangkan malaikat saat memandangi kerlap-kerlip kunang-kunang. Dia sampai hapal betul gerak tarian kunang-kunang yang dipandanginya tiap-tiap malam.  Maka ketika konfigurasi cahaya kunang-kunang menjadi kacau, dia meyakini ada sesuatu yang terjadi pada kunang-kunang. Firdaus segera berlari menuju lapangan voli untuk mengetahui apa penyebab kekacauan konfigurasi kerlap-kerlip kunang-kunang dan tanpa berpikir panjang langsung berteriak ke arah sekumpulan remaja yang asyik berlarian menangkapi kunang-kunang, membuat dia terjebak dalam lingkaran lima remaja sedesanya. Kini Firdaus harus memberikan penjelasan, jika tidak, fragmen liar di kepalanya tadi akan menjadi nyata. Firdaus akhirnya menemukan cerita yang menurutnya mampu melepaskan dirinya dari situasi tertekan.
Sekujur tubuh Firdaus masih terasa dingin. Keberanian yang membuat dia berani melarang Adam dan teman-temannya jugalah yang akhirnya menuntun dia menemukan jawaban. Kalian jangan menangkapi kunang-kunang karena kunang-kunang itu jorok. Kalian tahu tidak kalau kunang-kunang asalnya dari taik kebo? Adam dan teman-temannya saling berpandangan. Bohong kau, Firdaus! Bodoy mewakili suara Adam. Firdaus mulai percaya diri karena dikepalanya sudah tersusun cerita tentang muasal kunang-kunang kepada teman-temannya. Aku nggak bohong. Wak Hila yang bilang begitu. Firdaus sengaja mencomot nama Wak Hila, dukun santet dari desa sebelah. Sebenarnya Wak Hila orangnya baik tapi faktor sejarah membuat dia mendapat gelar dukun santet. Dia memang bisa menyembuhkan penyakit dan bukan menyantet. Ketika geger dukun santet santer diberbagai desa, Wak Hila termasuk yang jadi korban. Rumahnya dibakar. Anak istrinya diusir dari desa. Wak Hila diikat dengan tangan terentang dan kaki ngangkang kemudia dilempari batu oleh penuduh-penuduhnya. Ada yang mengatakan dia tidak mempan dibacok maupun dibakar. Itulah yang membuat warga desa gentar ketika mendengar nama Wak Hila. Sekarang Wak Hila sudah berumur 71 tahun dan memilih menyepi di tengah hutan di desa sebelah. Orang-orang tidak ada yang berani berjumpa Wak Hila karena takut Wak Hila masih dendam akibat peristiwa dukun santet.
Mendengar nama Wak Hila disebut Firdaus, Adam dan teman-temannya mundur setengah langkah dari posisi semula. Kapan kamu ketemu Wak Hila, Fir? Adam mulai menurunkan kegarangan di wajahnya. Jadi, pada suatu hari aku sengaja mencari ranting bercabang untuk ketapel ke hutan di desa sebelah. Sebab kata Si Dobok, anak desa sebelah, kayu di hutan desanya bagus dan kuat buat ketapel. Pergilah aku ke hutan itu dan tanpa sengaja bertemu dengan Wak Hila. Setidaknya begitulah kakek yang aku jumpai itu mengaku dan minta dipanggil namanya Wak Hila. Nah, menurut cerita orang-orang yang kudengar kan Wak Hila itu orang pintar maka pada kesempatan itu aku bertanya dari manakah sumber cahaya kunang-kunang. Kemudian Wak Hila bercerita kepadaku kalau kunang-kunang berasal dari taik kebo yang jatuh di jalan-jalan desa. Taik kebo itu menjadi larva atau embrio atau janin di bawah terik matahari. Terik matahari memberikan energi pada embrio. Pada malam harinya, di dalam gelap,  embrio berwarna hijau menjelma kunang-kunang berkerlap-kerlip kehijau-hijauan seperti yang kalian kejar-kejar hendak ditangkapi. Kalian tahu kenapa kunang-kunang hanya ada di desa? Mereka kompak menggelengkan kepala. Karena di jalan-jalan kota tidak ada taik kebo yang jatuh. Jangankan taiknya, di kota nggak ada kebo.
Mendengar cerita Firdaus kelima remaja itu kembali saling berpandangan sambil meringis. Hah! Menjijikkan! Hawa agak menjerit dan terus mengusap-usap kedua telapak tangannya ke baju. Bener itu yang Wak Hila bilang, Fir? Adam, kalau kamu nggak percaya pada ceritaku kamu bisa mendatangi Wak Hila di hutan. Ahhkk tidak! Kalau sudah Wak Hila yang mengatakan itu untuk apa ditanya lagi. Ayo kita pulang dan cuci tangan pakai sabun tujuh kali.
Kelima remaja lalu meninggalkan Firdaus seorang diri di tengah lapangan tanpa menyentuh sehelai rambut Firdaus. Kini kerlap-kerlip kunang-kunang sudah kembali ketarian seperti yang biasa Firdaus pandangi tiap-tiap malam. Di tengah lapangan berumput itu Firdaus duduk bersila menikmati kerlap-kerlip kunang-kunang yang hinggap di tubuhnya. Makin lama semakin banyak kunang-kunang yang mengerubungi Firdaus. Semakin larut malam semakin larut Firdaus akan kebahagian bersatu dengan kunang-kunang. Kini dia merasa telah diampuni oleh kunang-kunang atas matinya seekor kunang-kunang, di telapak tangan kirinya,  akibat rasa penasaran dirinya pada sumber cahaya kunang-kunang. Perasaannya telah lega, rasa bersalah itu telah hilang membuat tubuhnya menjadi ringan. Dia terbang dibawa berjuta-juta kerlap-kerlip kunang-kunang. Gelap malam hilang oleh berjuta-juta kunang-kunang yang mengangkat tubuh Firdaus ke dunia seperti yang dimaksudkan  kakeknya ketika menyuruhnya menutup mata.



15 September 2016

No comments: