Sunday 16 July 2023

Komitmen Dalam Kurung Cinta

Apakah yang tidak mengalami perubahan di dunia ini? Abad, tahun, bulan, minggu, hari, jam, dan detik terus berjalan dan berubah hitungannya. Dunia tidak pernah berhenti melakukan perubahan. Contoh paling sederhana, pernahkah kita iseng-iseng memikirkan berapa orangkah yang meninggal dan bayi yang lahir tiap detiknya? Jumlah penduduk bumi kian bertambah pertanda dunia terus mengalami perubahan. Lebih lagi, perubahan dan pergerakan merambah seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Dan, hanya perubahan itu sendiri yang tidak mengalami perubahan.

Peradaban manusia dewasa ini mengalami perkembangan yang luar biasa. Manusia melakukan inovasi-inovasi pada semua bidang yang semakin mempermudah keberlangsungan hidupnya. Jika kita membaca sejarah, Indonesia misalnya, rasanya baru kemarin segala peristiwa bersejarah itu terjadi. Peristiwa reformasi, Proklamasi, G30S, resesi ekonomi, dan sebagainya seolah-olah memiliki jarak estetik yang begitu dekat dengan kehidupan sekarang. Mungkin hal ini disebabkan kita juga bagian dari garis lurus sejarah tersebut. Tapi, kita tidak saja sekedar bagian dari garis lurus sejarah, ada tanggung jawab yang harus diselesaikan, yaitu menjaga dan meneruskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Menjaga dan meneruskan kelangsungan hidup sebuah bangsa dan negara bukan hal mudah. Bukan pula tanggung jawab perorangan melainkan milik bersama. Sesuai kesepakatan bersama sewaktu Sukarno-Hatta membacakan teks Proklamasi, mewakili seluruh rakyat Indonesia, sebagai tonggak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelumnya, I928, melaui Soempah Pemoeda, telah dikumandangkan sebuah ikrar untuk berbangsa; bertanah air; berbahasa; hanya satu yaitu Indonesia. Ikrar menjadi tindakan pertama yang sangat penting bagi perwujudan cita-cita bersama.

Sekarang adalah zaman kita. Bukan lagi zaman memperebutkan kemerdekaan, melainkan zaman mengisi kemerdekaan. Maka yang dibutuhkan bangsa dan negara ialah tindakan yang merupakan efek ikrar dari dalam hati setiap rakyat Indonesia. Disinilah letak tantangan kita sebab menjalankan ikrar lebih sulit daripad mengucapkannya. Acapkali jatuh bangun mengiringi usaha-usaha kita menjalankan sebuah ikrar. Tidak sebatas ikrar terhadap bangsa dan negara tetapi juga ikrar-ikrar lainnya – pernikahan, persahabatan, komunitas, dll. Hal ini merupakan gejala yang wajar sebab kita manusia, mudah lupa. Himpitan kebutuhan hidup membuat pikiran kita sering tidak fokus pada apa yang sedang kita hadapi dan menjadikan lupa kepada ikrar yang pernah  diucapkan.

Kata ikrar rasanya terlalu luas apabila kita hubungkan dengan pemenuhan kehidupan pribadi. Ikrar dipakai sebagai pengikat komunitas yang lebih besar. Anggota-anggota komunitas, sebelum berikrar tentunya mengikatkan dirinya terlebih dulu, dengan kata lain individu-individu melakukan komitmen dalam diri, kemudian kumpulan komitmen bersatu menjadi ikatan besar –ikrar. Dengan demikian sifat komitmen lebih personal, yaitu individu terhadap sesuatu yang menjadi komitmennya.

Ada banyak bentuk-bentuk komitmen pribadi yang umum dilakukan. Misalnya, komitmen berumahtangga, komitmen berpacaran, komitmen terhadap cita-cita yang ingin diraih, komitmen pada pekerjaan, komitmen pada pendidikan, komitmen kepada kepercayaan agama, dan masih banyak lagi lainnya.

Bentuk-bentuk tersebut sekalius menjadi batasan wilayah kerja komitmen. Batasan-batasan itu juga bekerja sebagai penjaga agar komitmen tidak dilanggar. Namun yang terpenting bukanlah obyek komitmen melainkan subyek (kita) komitmen. Sebab, individulah yang menentukan kelangsungan sebuah komitmen.

Realitas yang terjadi sekarang banyak orang enggan berkomitmen. Pengaruh budaya Barat melalui slogan kebebasannya telah merasuki pola pikir bangsa Indonesia yang dikenal budaya ketimurannya ( nilai-nilai adat istiadat). Tidak hanya tataran ideal saja kita telah terpengaruh, ditatarn praksispun telah lebih mengedepankan prinsip kebebasan. Ironinya, kita ikut-ikutan meneriakkan slogan kebebasan tanpa memahami esensi kata kebebasan itu. Bangsa kita terjbak hanya pada tataran praksis saja tanpa berkeinginan melakukan dialektika-dialektika tentang kebebasan yang menjadikan kita sering keblabasan. Ekses negatifnya, akan sering terucap pertanyaan dangkal berkaitan dengan komitmen, “Untuk apa komitmen? Yang penting kan prakteknya.” Pertanyaan itu tidak akan pernah menemukan jawabannya dan akan terus berdialektika sampai kita mengalami sendiri  dialektikanya sehingga nantinya jawaban yang muncul adalah menurut idealisasi tiap-tiap individu.

Benarkah komitmen tidak penting dalam sebuah komunitas maupun dalam pribadi individu-individu? Silahkan Anda jawab sendiri.

Komitmen dapat muncul dari rangsangan-rangsangan dalam diri individu maupun dari luar individu, bergantung pada pengalaman empirik dan kehidupan sosialnya.  Misalnya dalam bidang pelayanan di gereja, ada orang yang memang tergerak dari dasar hatinya untuk melayani di gereja (berkomitmen pelayanan), ada pula orang yang menunggu diajak orang lain untuk melayani sehingga muncullah niatan melayani (dikomitmen). Dari kedua contoh tersebut dapat digolongkan jenis-jenis komitmen, yaitu mengkomitmen (aksi) dan dikomitmen (reaksi). Mengkomitmen adalah komitmen yang muncul dari dalam diri seseorang terhadap sesuatu yang ia komitmenkan. Sementara dikomitmen cenderung berasal dari faktor luar diri (diajak berkomitmen). Dua jenis ini sama baiknya, asalkan individu-individunya memahami perihal yang dikomitmeni.

Pada perkembangannya, komitmen seringkali hanya sebagai formalitas belaka. Saya akan ambil contoh kasuistis dari sebuah film yang menurut saya menjelaskan arti penting komitmen sebab beberapa hari terakhir saya telah mengula-ulang menontonnya, berjudul Before Sunset, yang dibintngi Ethan hawk dan Julie Delpy. Sebuah film drama yang mengisahkan perjumpaan kembali dua orang yang pernah berkenalan dan saling mencintai. Dialog ini berlangsung di dalam sebuah mobil antara jesse (Ethan Hawk) dengan Celine (Julie Delpy). Jesse menanggapi cerita Celine :

 

“Hidupku buruk total. Kebahagiaan yang kudapat hanyalah ketika aku keluar bersama anakku. Aku sudah mendatangi konsultasi pernikahan, melakukan hal-hal yang kupikir takkan pernah kulakukan. Aku sudah menyalakan lilin, beli buku, membantu diri sendiri membeli pakaian dalam... Aku tidak mencintainya dengan cara yang dia (istri Jesse) perlu untuk dicintai. Aku bahkan tak melihat masa depan bagi kami, tapi saat kulihat anakku duduk di hadapanku, aku berpikir akan kujalani siksaan apapun untuk bisa bersamanya setiap menit dalam hidupnya. Aku tak mau kehilangan yang itu. Tapi kemudian, tak ada keceriaan dan tawa di rumahku... Aku ingin hidup bahagia. Aku ingin hidupnya bahagia, dia layak mendapatkannya. Tapi kami hidup dalam kepura-puraan perkawinan, tanggung jawab dan semua gagasan tentang bagaimana seharusnya orang hidup... Istriku menatapku, dan aku merasa jutaan mil jauhnya darinya. Aku tahu ada sesuatu yang salah, bahwa aku tak bisa hidup seperti ini. Bahwa harus lebih mencintai daripada komitmen.” (terj. Dari teks yang tertera dalam film)

 

Dialog di atas menggambarkan keadaan komitmen sebuah rumah tangga yang mulai retak. Meskipun berbicara tentang komitmen berumahtangga tetapi saya rasa sangat relevan digunakan kedalam masalah-masalah komitmen wilayah-wilayah lainnya. Seperti yang diungkapkan Jesse, bahwa kadang-kadang, tanpa sadar, kita terjebak pada tujuan dari komitmen yaitu tanggung jawab yang sifatnya rutinitas. Kita tidak lagi mengindahkan proses saat menjalankan komitmen dan hanya terfokus pada membesrkan anak, program kerja, nilai, uang, dll. Sama halnya yang diungkapkan Celine pada scene lain berlatar sebuah kafe. Celine dan Jesse santai mengobrol sambil menyeruput kopi :

 

“Di bidangku, aku melihat orang-orang yang...Maaf... Punya visi idealis yang besar menjadi pemimpin yang akan menciptakan dunia yang lebih baik. Mereka menikmati tujuannya, tapi tidak prosesnya. Tapi kenyataannya kerja sesungguhnya memperbaiki hal terletak dalam pencapaian. Itu yang perlu kau nikmati... Aku melihat orang kerja serius, tapi yang menyedihkan adalah orang yang paling banyak memberikan, bekerja keras dan mampu membuat dunia ini lebih baik, biasanya tak punya ego dan ambisi untuk menjadi pemimpin. Mereka tidak melihat menariknya suatu penghargaan yang dangkal. Mereka tidak peduli jika nama mereka muncul di media massa. Mereka menikmati proses membantu orang lain. Mereka merasa memiliki.” (terj. teks yang tertera dalam film)

 

Arah penekanan dialog ini ditujukan pada realitas kerja. Bagaimana kita sering mengabaikn arti penting sebuah proses dan sekedar memandang pada hasil saja. Bentuk-bentuk pengabaian itu terkadang terlihat dari cara-cara individu meraih hasilnya. Mungkin saja dengan melanggar aturan kerja, dan cara-cara lainnya, sebab orang yang tidak menghargai proses biasanya bertindak instan, yang penting tujuan tercapai.

Hal yang paling menarik dari kedua dialog di atas adalah kalimat terakhir Jesse dan Celine, yaitu

Jesse  : Bahwa harus lebih mencintai daripada komitmen.

Celine : Mereka merasa memiliki.

Dua kalimat ini memiliki roh yang sama, yaitu cinta. Dengan demikian dasar sebuah komitmen adalah cinta dari dalam diri orang yang berkomitmen. Tanpa cinta maka akan terjadi kejenuhan bertanggungjawab terhadap komitmen. Cintalah yang menguatkan seseorang mampu bertahan menjalankan komitmen. Seperti yang dialami Jesse terhadap anaknya, rasa cinta yang membuat dia tetap berusaha memperbaiki perkawinannya yang tidak lagi membuat bahagia.

Tapi seperti pengakuan Jesse, bahwa tidak gampang menumbuhkan rasa cinta dalam sebuah komitmen :

 

“Ya, tapi sulit sekali untuk bisa merasa memiliki. Aku merasa sepertinya aku dirancang untuk menjadi tidak puas dalam segala hal. Seolah selalu berusaha memperbaiki keadaanku. Aku memuaskan satu hasrat, tapi malah mengusik yang lain. Lalu aku berpikir, peduli amat. Hasrat adalah penyemangat hidup.” (terj. teks yang tertera dalam film)

 

Cara pandang seperti Jesse ini yang sering kali kita implikasikan ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita lebih melihat kepada hasrat. Pada ambisi. Pada tujuan. Peduli amat dengan prosesnya, ya...terserah... Yang pasti, meskipun rangsangan komitmen itu datang dari luar diri, tapi selalu bermula dari gerak hati. Mungkin contoh film yang pas menggambarkan kekuatan komitmen seseorang ada pada film Armagedon yang tokohnya memutuskan untuk tinggal di lokasi yang akan meledak pada sebuah ekspedidi penyelamatan bumi dari hujan meteor. Ia berani mengorbankn nyawanya, meninggalkan kekasihnya, keluarganya, rekan kerjanya demi menyelamatkan bumi.

Lalu...”Komitmen...? Sebentar deh saya pikir-pikir dulu kaleee yaa...”

Dan... “Keburu dipatok ayam bro...sist...wakakakaka”

Akhirnya... “Tunjukin dong cinta loe bro...sist...”

“Maksud loe...?”

Komitmen Dalam Kurung Cinta

 

 

Dengan cinta yang

Terpancar dalam kelahiran Yesus

Mari rayakan

Mari pujikan

Mari peringatkan hari

Yesus lahir

 

 

 

Temanggung, 2 Desember 2007

[Tulisan ini pernah diterbitkandi Buletin OGUNG NHKBP Kertanegara Semarang Edisi XXIX Desember 2007]

 

No comments: