Kasihku, pada akhirnya kita memang harus kembali kepada
diri sebelum melanjutkan langkah; lompatan, larian, bahkan terbang laiknya lambang
Negara kita yang gagah perkasa. Menuju diri yang mungkin tiap hari dilewati
begitu saja karena terdesak waktu. Kerjapan mata menjelma mode-mode; perpolitikan yang sepertinya tidak balau sehingga siapa saja yang tak balau
akan di cap tidak berperasaan nasional. Tak pelak banyak yang memilih menjadi
nasionalis demi anak-anak tidak ketinggalan kesehatan, pendidikan, gadget,
trend-trend kekinian, juga martabat garis keturunan.
Sungguh, aku melihat anak-anak tak lagi suka memakai topi
sulaman ibunya/neneknya, ketinggalan jaman kata mereka. Kini mereka lebih suka
menanam modem di ubun-ubunnya. Terus mencari-cari gelombang baru, bahkan
gelombang yang diindividualisasi (tanpa serabut) diburu hingga ujung terenik
–rela merogoh kantong yang setengah robek agar tak kehilangan cakapan. Cakapan
yang dibalut teh, atau kopi, atau susu, atau wine, atau perempuan; obrolan yang dilakukan di depan dispenser kantor, obrolan yang berlaku di mal-mal, café, butik, maupun gedung-gedung plat merah, yang
tentunya bukan tentang dirinya melainkan soal gaya messi mencetak gol, soal
vettel yang tak jadi menang di grandprix Silverstone. Soal kawin dan soal cerai
artis –artis siapa yang cerai hari ini? Soal-soal yang dicari-cari oleh negara, sehingga tampak pelik dan mengabaikan rakyat-rakyat yang tetap bersyukur dapat menikmati nasi aking.
Dan, lihatlah ruang keluarga ditingkahi foto-foto tersenyum, sedingin dinding. Foto anak-anak
yang mulai mampu mengeja ‘sayangku’ ‘cintaku’ kepada lawan jenisnya yang
mungkin baru berkenalan semenit lalu. Untuk itu aku petikkan selarik syair
lagu, “Take my photo off the wall if it
just won’t sing for you..” (*)
Ter(kadang) aku merasa terlalu naïf, menganggap ruang
keluarga dan ruang tamu telah mengalami perluasan jadi sebuah taman, kolam,
kebun,juga wahana-wahana permainan. Kumpul dalam kumpulan pecinta ini-pecinta
itu, penggiat ini-penggiat itu sebagai tanda rehabilitasi ruang. Rumah kita
kini tak beruang mirip auditorium, hall-hall, ballroom-ballroom, dan lapangan.
Hallelujah! Rumah tanpa dinding! (sepertinya).
Maka kini aku berhalusinasi, bila ini dianggap halusinasi
–paranoia. Aku melihat sebuah kandang besar dalam blok-blok seturut jenisnya.
Semua hidup seperti lumrah hidup meskipun dalam blok tak berdinding, segala
rasa-segala emosi yang membentuk blok-blok itu tumpah ruah. Sepantasnya
kandang, tentu ada yang memiliki. Kata ‘memiliki’ ini sifatnya arbitrer. Yang
pasti, sang penawar yang bergelar arbitrer itu memanen telur , susu, daging,
kulit, bahkan ampas tiada yang terbuang.
Hallelujah! ” I
want to know what it’s like
On the inside of love..”(**)
Sudah kukatakan, mungkin aku terlalu naïf sehingga
kenaifan itu telah mengenalkan aku pada tokoh cynical. Tapi, entahlah aku hanya
iota dalam galaksi. Karena galak(sih), mungkin inilah muasal paranoia itu, seperti
kanak-kanak yang baru mengenali sesuatu, kemudian membawa sesuatu itu ke dalam
mimpi. Damn! What I have to do if you were here!(***) Yang aku bawa dalam mimpi berubah
monster. Dan monster itu bangunkanku pada rengek. “Huuushh..huuushhh…huuu shhh..
cup, cuuuuup.. The monster now gone, my sweet heart. Just sleep.” Demikianlah
Ibu menghapus takutku namun bukan monsternya. And I said, “Mom, I won’t a dream
anymore. It’s horrible.” Basah di ekor mataku menggumpal. “Ok my dear, let's wakeup
until dawn if it’s make you happy.” Said my mom. Bisa saja aku lewati satu
malam tanpa tidur, tapi tubuh ini toh butuh tidur. Kealamiahan tubuh tak bisa
dihindari. Maka, aku akan tidur dan menghadapi mimpi-mimpi lagi.
Ini(lah/kah) hidup dengan alunan "Ambilkan bulan Bu.. Ambilkan bulan Bu.. untuk mendampingi aku di malam gelap" (****)
Ini(lah/kah) hidup dengan alunan "Ambilkan bulan Bu.. Ambilkan bulan Bu.. untuk mendampingi aku di malam gelap" (****)
Oleh keadaan ini janganlah kau menuduhku tak punya cinta
lagi. Atau, kau sangkakan aku berpaling darimu. Manalah mungkin aku berpaling
sayang. Anggap saja ini batu ujian Tuhan jika kita menganggap Tuhan sedang
menguji hidupku –umatnya. Dan memang kita harus menganggap ujian Tuhan agar
kita ber-Tuhan. dan bagi cintamu, anggaplah ini sebuah penegasan kecintaanmu
padaku.
Maka biarlah naïf jika aku katakan ‘purification’, setidaknya buat kita. Sebab, bukankah kita telah mendefinisikan cinta kita berbeda? Lantas mengapa kini kita menjadi kikuk dengan definisi kita sendiri. Namun aku tak menyalahkanmu disatu pihak. Kitalah -aku dan kamu- yang kikuk menangkap bayang-bayang standar kekinian. Sungguh wajar sebab kita harus memamah dengan cepat agar produk-produk yang baru muncul segera masuk mulut, hingga lidah kita menjadi tawar. Ensim-ensim di mulut jadi buta. Yang berlakuan hanyalah gerus dan menggeruslah wahai mulut. Cinta makin ampang. Belum lagi kawat berduri memagari kepala kita. Tapi jangan katakan kita ini tengkorak yang dibubuhi nafas. Kita masih bisa kembali pada diri –sejati. Then we can say, “I can stand to fly
Maka biarlah naïf jika aku katakan ‘purification’, setidaknya buat kita. Sebab, bukankah kita telah mendefinisikan cinta kita berbeda? Lantas mengapa kini kita menjadi kikuk dengan definisi kita sendiri. Namun aku tak menyalahkanmu disatu pihak. Kitalah -aku dan kamu- yang kikuk menangkap bayang-bayang standar kekinian. Sungguh wajar sebab kita harus memamah dengan cepat agar produk-produk yang baru muncul segera masuk mulut, hingga lidah kita menjadi tawar. Ensim-ensim di mulut jadi buta. Yang berlakuan hanyalah gerus dan menggeruslah wahai mulut. Cinta makin ampang. Belum lagi kawat berduri memagari kepala kita. Tapi jangan katakan kita ini tengkorak yang dibubuhi nafas. Kita masih bisa kembali pada diri –sejati. Then we can say, “I can stand to fly
I’m not that naïve
I’m just out to find
The better part of me..” (*****)
You’ve got selfish beibeh! No, Oh no! ini tak seperti
yang kau kira. “The shine of which caught my eye.”
“Vindication! It’s your vindicated! “ Serumu. Oh sayangku, lihat, sekarang siapa yang begitu naïf? Siapa yang tak ingin kebersamaan? Siapa pula yang mampu menghapus kata ‘saling’? terlebih siapa yang tak mau cinta-mencinta-dicinta? Barangkali aku terlalu berlebihan jika tak ingin sekedar memamah dan berbiak. Menjadi gemeinschaft yang pijakannya melampaui tradisi, geografi, agama, atau ikatan DNA sekalipun.
“Beib, You are only human!” Ya, itu benar. I’m only human with flesh and blood. Dari tubuh ini aku belajar organisme, hidup menghidupi bukannya menghisap.
Bagimu mungkin tubuh serupa mesin, otomatis bekerja saat tombol on/off dipencet. Kau benar jika hanya memandang pada on/off saja sebab seperti mesin, manusialah penentunya. Tapi, tubuh ini bukan kita yang memegang remotnya. Walaupun begitu, kita punya hak atas tubuh dan organisme tubuh punya hak atas dirinya. Di sanalah jiwa mengambil peran, sebagai jembatan harmonisasi kerja tubuh. Ketika satu bagian berhenti, itu bukan hidup. Tubuh yang bergerak-jiwa yang menyadarkan.
“Just dance offer me!” Kau memintaku.
“Please, take the one first, are we human or are we a dancer” (******)
I am whispering for you.
“Vindication! It’s your vindicated! “ Serumu. Oh sayangku, lihat, sekarang siapa yang begitu naïf? Siapa yang tak ingin kebersamaan? Siapa pula yang mampu menghapus kata ‘saling’? terlebih siapa yang tak mau cinta-mencinta-dicinta? Barangkali aku terlalu berlebihan jika tak ingin sekedar memamah dan berbiak. Menjadi gemeinschaft yang pijakannya melampaui tradisi, geografi, agama, atau ikatan DNA sekalipun.
“Beib, You are only human!” Ya, itu benar. I’m only human with flesh and blood. Dari tubuh ini aku belajar organisme, hidup menghidupi bukannya menghisap.
Bagimu mungkin tubuh serupa mesin, otomatis bekerja saat tombol on/off dipencet. Kau benar jika hanya memandang pada on/off saja sebab seperti mesin, manusialah penentunya. Tapi, tubuh ini bukan kita yang memegang remotnya. Walaupun begitu, kita punya hak atas tubuh dan organisme tubuh punya hak atas dirinya. Di sanalah jiwa mengambil peran, sebagai jembatan harmonisasi kerja tubuh. Ketika satu bagian berhenti, itu bukan hidup. Tubuh yang bergerak-jiwa yang menyadarkan.
“Just dance offer me!” Kau memintaku.
“Please, take the one first, are we human or are we a dancer” (******)
I am whispering for you.
Kita akan menari, kasihku. Tarian yang kita
Kita akan bernyanyi, kasihku. Lagu yang kita
Kita akan hidup, kasihku. Hidup yang kita
“..I am cleaning up so well
I am seing in me now
The things you swore
Note :
(*)Look What You've Done by Jet
(**)Inside Of Love by Nada Surf
(***)Wish You Were Here by Avril Lavigne
(****)Ambilkan Bulan Bu by Tasya
(*****)Superman by Five For Fighting
(******)Human by The Killer
(*******)Vindicated by Dashboard Confessional
(*)Look What You've Done by Jet
(**)Inside Of Love by Nada Surf
(***)Wish You Were Here by Avril Lavigne
(****)Ambilkan Bulan Bu by Tasya
(*****)Superman by Five For Fighting
(******)Human by The Killer
(*******)Vindicated by Dashboard Confessional
13 Juli 2011
No comments:
Post a Comment