Monday 22 July 2013

Parentheses -chapter one-

Kasihku, pada akhirnya kita memang harus kembali kepada diri sebelum melanjutkan langkah; lompatan, larian, bahkan terbang laiknya lambang Negara kita yang gagah perkasa. Menuju diri yang mungkin tiap hari dilewati begitu saja karena terdesak waktu. Kerjapan mata menjelma mode-mode; perpolitikan yang sepertinya tidak balau sehingga siapa saja yang tak balau akan di cap tidak berperasaan nasional. Tak pelak banyak yang memilih menjadi nasionalis demi anak-anak tidak ketinggalan kesehatan, pendidikan, gadget, trend-trend kekinian, juga martabat garis keturunan.
Sungguh, aku melihat anak-anak tak lagi suka memakai topi sulaman ibunya/neneknya, ketinggalan jaman kata mereka. Kini mereka lebih suka menanam modem di ubun-ubunnya. Terus mencari-cari gelombang baru, bahkan gelombang yang diindividualisasi (tanpa serabut) diburu hingga ujung terenik –rela merogoh kantong yang setengah robek agar tak kehilangan cakapan. Cakapan yang dibalut teh, atau kopi, atau susu, atau wine, atau perempuan; obrolan yang dilakukan di depan dispenser kantor, obrolan yang berlaku di mal-mal, café, butik, maupun gedung-gedung plat merah, yang tentunya bukan tentang dirinya melainkan soal gaya messi mencetak gol, soal vettel yang tak jadi menang di grandprix Silverstone. Soal kawin dan soal cerai artis –artis siapa yang cerai hari ini? Soal-soal yang dicari-cari oleh negara, sehingga tampak pelik dan mengabaikan rakyat-rakyat yang tetap bersyukur dapat menikmati nasi aking.
Dan, lihatlah ruang keluarga ditingkahi foto-foto tersenyum, sedingin dinding. Foto anak-anak yang mulai mampu mengeja ‘sayangku’ ‘cintaku’ kepada lawan jenisnya yang mungkin baru berkenalan semenit lalu. Untuk itu aku petikkan selarik syair lagu, “Take my photo off  the wall if it just won’t sing for you..” (*)
Ter(kadang) aku merasa terlalu naïf, menganggap ruang keluarga dan ruang tamu telah mengalami perluasan jadi sebuah taman, kolam, kebun,juga wahana-wahana permainan. Kumpul dalam kumpulan pecinta ini-pecinta itu, penggiat ini-penggiat itu sebagai tanda rehabilitasi ruang. Rumah kita kini tak beruang mirip auditorium, hall-hall, ballroom-ballroom, dan lapangan. Hallelujah! Rumah tanpa dinding! (sepertinya).
Maka kini aku berhalusinasi, bila ini dianggap halusinasi –paranoia. Aku melihat sebuah kandang besar dalam blok-blok seturut jenisnya. Semua hidup seperti lumrah hidup meskipun dalam blok tak berdinding, segala rasa-segala emosi yang membentuk blok-blok itu tumpah ruah. Sepantasnya kandang, tentu ada yang memiliki. Kata ‘memiliki’ ini sifatnya arbitrer. Yang pasti, sang penawar yang bergelar arbitrer itu memanen telur , susu, daging, kulit, bahkan ampas tiada yang terbuang.
Hallelujah! ” I want to know what it’s like
On the inside of love..”(**)

Sudah kukatakan, mungkin aku terlalu naïf sehingga kenaifan itu telah mengenalkan aku pada tokoh cynical. Tapi, entahlah aku hanya iota dalam galaksi. Karena galak(sih), mungkin inilah muasal paranoia itu, seperti kanak-kanak yang baru mengenali sesuatu, kemudian membawa sesuatu itu ke dalam mimpi. Damn! What I have to do if you were here!(***) Yang aku bawa dalam mimpi berubah monster. Dan monster itu bangunkanku pada rengek. “Huuushh..huuushhh…huuu shhh.. cup, cuuuuup.. The monster now gone, my sweet heart. Just sleep.” Demikianlah Ibu menghapus takutku namun bukan monsternya. And I said, “Mom, I won’t a dream anymore. It’s horrible.” Basah di ekor mataku menggumpal. “Ok my dear, let's wakeup until dawn if it’s make you happy.” Said my mom. Bisa saja aku lewati satu malam tanpa tidur, tapi tubuh ini toh butuh tidur. Kealamiahan tubuh tak bisa dihindari. Maka, aku akan tidur dan menghadapi mimpi-mimpi lagi.
Ini(lah/kah) hidup dengan alunan "Ambilkan bulan Bu.. Ambilkan bulan Bu.. untuk mendampingi aku di malam gelap" (****)

Oleh keadaan ini janganlah kau menuduhku tak punya cinta lagi. Atau, kau sangkakan aku berpaling darimu. Manalah mungkin aku berpaling sayang. Anggap saja ini batu ujian Tuhan jika kita menganggap Tuhan sedang menguji hidupku –umatnya. Dan memang kita harus menganggap ujian Tuhan agar kita ber-Tuhan. dan bagi cintamu, anggaplah ini sebuah penegasan kecintaanmu padaku.

Maka biarlah naïf jika aku katakan ‘purification’, setidaknya buat kita. Sebab, bukankah kita telah mendefinisikan cinta kita berbeda? Lantas mengapa kini kita menjadi kikuk dengan definisi kita sendiri. Namun aku tak menyalahkanmu disatu pihak. Kitalah -aku dan kamu- yang  kikuk menangkap bayang-bayang standar kekinian. Sungguh wajar sebab kita harus memamah dengan cepat agar produk-produk yang baru muncul segera masuk mulut, hingga lidah kita menjadi tawar. Ensim-ensim di mulut jadi buta. Yang berlakuan hanyalah gerus dan menggeruslah wahai mulut. Cinta makin ampang. Belum lagi kawat berduri memagari kepala kita. Tapi jangan katakan kita ini tengkorak yang dibubuhi nafas. Kita masih bisa kembali pada diri –sejati. Then we can say, “I can stand to fly
I’m not that naïve
I’m just out to find
The better part of me..” (*****)

You’ve got selfish beibeh! No, Oh no! ini tak seperti yang kau kira. “The shine of which caught my eye.”
“Vindication! It’s your vindicated! “ Serumu. Oh sayangku, lihat, sekarang siapa yang begitu naïf? Siapa yang tak ingin kebersamaan? Siapa pula yang mampu menghapus kata ‘saling’? terlebih siapa yang tak mau cinta-mencinta-dicinta? Barangkali aku terlalu berlebihan jika tak ingin sekedar memamah dan berbiak. Menjadi gemeinschaft yang pijakannya melampaui tradisi, geografi, agama, atau ikatan DNA sekalipun.
“Beib, You are only human!” Ya, itu benar. I’m only human with flesh and blood. Dari tubuh ini aku belajar organisme, hidup menghidupi bukannya menghisap.
Bagimu mungkin tubuh serupa mesin, otomatis bekerja saat tombol on/off dipencet. Kau benar jika hanya memandang pada on/off saja sebab seperti mesin, manusialah penentunya. Tapi, tubuh ini bukan kita yang memegang remotnya. Walaupun begitu, kita punya hak atas tubuh dan organisme tubuh punya hak atas dirinya. Di sanalah jiwa mengambil peran, sebagai jembatan harmonisasi kerja tubuh. Ketika satu bagian berhenti, itu bukan hidup. Tubuh yang bergerak-jiwa yang menyadarkan.
“Just dance offer me!” Kau memintaku.
“Please, take the one first, are we human or are we a dancer” (******)

I am whispering for you.

Kita akan menari, kasihku. Tarian yang kita
Kita akan bernyanyi, kasihku. Lagu yang kita
Kita akan hidup, kasihku. Hidup yang kita

“..I am cleaning up so well
I am seing in me now
The things you swore
You saw your self..” Lantas aku membuka pintu.(*******)

Dry

Note : 
(*)Look What You've Done by Jet
(**)Inside Of Love by Nada Surf
(***)Wish You Were Here by Avril Lavigne
(****)Ambilkan Bulan Bu by Tasya
(*****)Superman by Five For Fighting
(******)Human by The Killer
(*******)Vindicated by Dashboard Confessional


13 Juli 2011

No comments: