Enak Kali Sarapanku Pagi Ini, Mak
Enak kali sarapanku pagi ini, Mak. Mak, hari ini aku bangun
agak kesiangan. Pulas kali tidurku semalam sampai tak ada mimpi yang datang
menjumpaiku. Padahal, setiap sebelum tidur aku selalu berharap bermimpi.
Inginnya aku bermimpi dengan bintang pujaanku, sekedar menghapus kuatirku
menghadapi hidup ini. Aku juga ingin bermimpi menjadi super hero sehingga aku
bisa membantu keluarga kita; orang-orang yang lemah dan kekurangan, bukan cuma
lemah secara fisik dan ekonomi saja melainkan mental dan spiritual juga. Tapi,
apalah dayaku, Mak, mungkin alam bawah sadarku pun telah mati jadi tak bisa aku
bermimpi sekedar biar terhibur diri ini.
Enak kali sarapanku pagi ini, Mak. Mak, uang yang mamak
berikan sebelum pulang dari kontrakan di pinggiran ibu kota kepada anak
laki-lakimu yang belum beruntung mendapat pekerjaan lagi di ibu kota ini; uang
dari gaji pensiunan seorang janda dari mendiang suami yang pernah mengabdi kepada negara selama 22
tahun itu telah kubelanjakan untuk makanku. Semalam aku belanja sayur bayam seikat
seharga Rp. 4000, 00 di toko yang kata mamak harganya mahal-mahal itu. ” Apa
yang tak mahal di ibu kota, Mak, di sini uang Rp. 50. 000, 00 ga ada harganya.
Ga kayak jaman aku kanak-kanak lima rupiah sudah bisa beli permen lima bungkus”
Demikian aku menjawab komentar mamak itu.
Enak kali sarapanku pagi ini, Mak. Mak, bayam seikat itu aku
petiki, separuh kumasak sayur bening dengan tiga siung bawang putih dan dua
siung bawang merah ditaburi garam secukupnya. Separuh lagi kusimpan, mungkin
untuk sarapanku esok pagi atau lusa karena seperti katamu, “Bayam ga baik jika
lewat lima jam ga dimakan.”
Enak kali sarapanku pagi ini, Mak. Itulah kalimat yang terus
terngiang sepanjang aku mengunyah sarapanku.
Dan, memang itulah yang kurasakan, Mak. Entah kenapa sayur bayam yang
kumakan terasa lebih enak pagi ini. Padahal, bukan ini kali aku menikmati sarapan hanya dengan
sayur bayam. Dulu, waktu aku masih kuliahpun sering kali aku makan sayur bayam karena itulah menu paling murah.
Selain karena mencukupkan diri dengan uang bulanan yang kau kirim dari hasil
usahamu membanting tulang sebagai janda pegawai negeri beranak lima yang
semuanya butuh biaya sekolah, aku lebih suka mengurangi jatah makanku tiap
hari demi bisa membeli buku mata kuliah, novel, puisi, dan esai yang harganya
tak murah.
Enak kali sarapanku pagi ini, Mak. Wajahmu terlukis jelas di
bola mata pikiranku sampai butiran terakhir nasi dan lembaran bayam yang
kumakan hingga kenangan kanak-kanakku muncul tentang tokoh kartun, Popeye namanya.
Dia selalu berubah menjadi kuat dan berotot setelah makan bayam. Popeye selalu
mampu mengalahkan musuh-musuhnya jika memakan sekaleng bayam. Seberapa besar
dan berapapun jumlah musuh yang Popeye hadapi mampu dikangkangi demi
menyelamatkan kekasihnya, Olive Oyl,
yang dalam kondisi terancam. Sambil senyum-senyum sendiri, aku
membayangkan diri jadi Popeye, Mak. Aku berkhayal mampu melindungimu, keluarga
kita, orang-orang yang butuh pertolongan, bahkan negeri kita, lebih lagi dunia.
Aku ingin punya kekuatan agar tidak kalah dari setiap gelombang kehidupan.
Tapi, apalah dayaku, Mak, aku sudah patah hati sama dunia ini.
Enak kali sarapanku pagi ini, Mak. Karena terlalu enaknya
sampai lupa aku pada derita batin. Patah hati yang satu dasawarsa lebih kupikul
ini telah menguras seluruh vitalitas hidupku. Membuat aku hidup seperti tak hidup. Aku
bergerak seperti tak bergerak. Aku mencinta seperti tak mencinta. Aku bersosial
seperti tak bersosial. Aku berharap
seperti tak berharap. Aku sadar seperti tak berkesadaran. Sungguh, inilah kematian yang paling ngeri dibandingkan kematian tubuh. Namun kenyataannya, baik tubuh maupun psikis aku masih hidup.
Aku masih butuh makan. Aku masih butuh pekerjaan. Aku masih butuh orang lain.
Aku masih butuh membangun sebuah keluarga. Aku masih butuh memberi dan
menerima. Ya karena aku masih manusia yang hidup, dalam daging dan roh.
Enak kali sarapanku pagi ini, Mak. Dalam setiap gerak
mulutku menikmati sarapan pagi ini aku berharap mamak tetap kuat dan berhikmat
dalam membimbing anak-anakmu, terlebih aku yang belum mampu memberikan sebulir
nasipun ke piringmu.
Enak kali sarapanku pagi ini, Mak. Semoga sarapan mamak juga
seenak sarapanku. Terlebih setiap orang dapat merasakan enaknya sarapan
sehingga memiliki kekuatan dalam menjalani hidupnya. Setidaknya kita mampu
melewati satu hari ini. Ya, cukuplah satu hari karena esok masih ada sarapan untuk
hidup seribu tahun lagi.
Mak, enak kali sarapanku pagi ini.
No comments:
Post a Comment