Saturday 4 March 2017

Sabtu Pagi Dan Aku Yang (Masih) Di Dunia : Sebuah Eksistensialisme

Sabtu Pagi Dan Aku Yang (Masih) Di Dunia
: Sebuah Eksistensialisme

Dorongan air yang ingin keluar dari kemaluan menggerakkan seluruh tubuhku menuju kamar mandi. Dalam perjalanan dari kasur menuju kamar mandi itu tak ada satu hal pun yang kupikirkan. Aku tidak tahu sekarang hari apa. Aku tidak melihat jam sehingga tak tahu jam berapa aku melintas di bawah tempat jam dinding digantung. Aku hanya melihat orang-orang rumah, ada yang di dapur, ada yang berpapasan denganku, ada yang duduk di depan televisi mati. Semua bergerak sepintas di bola mataku namun tidak bersuara di kepalaku. Kepalaku tidak mengatakan nama orang yang ada di dapur dan orang  yang berpapasan denganku ketika berjalan ke kamar mandi. Tak satupun orang yang kulihat tersebutkan namanya di kepalaku.

Kutatap air yang jatuh kegenangan air di mulut jamban. Aku mendengar pertemuan air itu serupa keriuhan sebuah pesta. Mereka saling berpelukan. Tertawa. Menari. Menyanyi. Namun aku tak tahu mengapa mereka begitu senang dengan perjumpaan. Yang kurasa, maka aku terbangun, air di ginjal sudah penuh dan perlu dibuang. Kalau air itu kubuang dalam kondisi tidur akan membuat celana, seprai, dan kasurku basah. Lantas seisi rumahku akan mencemoohku karena kencing saat tidur alias ngompol. Entah sejak kapan kata ‘ngompol’ ditujukan buat orang yang kencing di celana saat tidur maupun saat terjaga. Hebatnya, kata ‘ngompol’ dapat meruntuhkan segala kebaikan dan kelebihan yang ada pada diri seseorang. Dan banyak orang menyembunyikan ‘ngompol’ yang dilakukannya agar tidak diketahui orang lain.

Waktu aku masih duduk di bangku sekolah dasar ada seorang temanku yang paling  ditakuti semua anak-anak di kelas. Bisa dibilang dia pentolan di sekolah maupun di kampung. Anaknya bengal. Tak takut mencuri buah milik tetangga. Tak takut memakan buah mangga yang tumbuh di kuburan. Tak takut dimarahi guru karena tak mengerjakan tugas rumah. Tak gentar berkelahi dengan anak kampung sebelah maupun anak lain sekolah. Namun gelar ditakuti itu seketika hilang ketika dia ketahuan masih mengompol. Sejak ketahuan masih ngompol dia tak pernah lagi menjaili teman sekelasnya dan selalu nurut kepada guru. Ngompol telah meruntuhkan rasa takut yang dimiliki teman-teman sekelas terhadap kawan kami yang bengal itu. Sebab jika dia mulai nakal, kami akan segera mengejeknya tukang ngompol. Mendengar ejekan kami wajahnya berubah merah lantas dia menangis. Tapi di luar kelas, sekolah, dan teman sepermainan, dia masih paling ditakuti.

Ada juga teman sekelasku yang pintar tapi dijauhi anak-anak perempuan karena masih suka ngompol. Gelar anak paling pintar di kelas langsung tercabut seketika ketahuan masih ngompol. Kepintaran kehilangan daya pikatnya jika diikuti ngompol. “Anaknya pintar, tapi masih ngompol.” Begitulah orang-orang akan mengingatnya dalam cibiran.

Ngompol menjadi kata yang harus disimpan rapat-rapat dari orang lain. Bagaikan sebuah rahasia melebihi rahasia negara. Aku sangat yakin jika seorang presiden diberi dua pilihan untuk mengakui pernah ngompol atau pernah selingkuh akan memilih menjawab pernah selingkuh. Sebab dalam jawaban pernah selingkuh tersirat segala pesona kejantannya dihadapan perempuan; atau sebaliknya kelemahannya dalam menghadapi perempuan, yang segera akan diterima oleh orang lain karena itu manusiawi. Tapi, ngompol adalah sebuah kecacatan hidup. Sebuah sejarah kelam melebihi kelamnya peristiwa pembantaian G30S/1965. Sebuah kelemahan yang tidak bisa diterima setiap manusia. Baik anak-anak maupun orang dewasa akan memandang dirinya rendah jika ketahuan ngompol. Seorang kanak-kanak akan kehilangan nilai kekanak-kanakannya bila ngompol. Anak-anak yang ngompol akan dianggap masih anak-anak dihadapan teman-teman sebayanya. Seorang dewasa akan dianggap anak-anak kalau masih ngompol. Adakah orang-orang besar dan sukses mau menuliskan pengakuan ngompol dalam biografi dirinya?

Padahal, kencing dan ngompol sama-sama mengeluarkan air dari jalan yang sama. Aku yang mengeluarkan air dari kemaluan ke mulut jamban disebut kencing. Andai aku tak mampu menahan penuhnya air di ginjalku dan mengeluarkannya saat tidur maka aku dikatakan ngompol.

Ngompol juga berlaku bagi orang yang mengeluarkan air dari kemaluan di celana meskipun tidak dalam keadaan tidur. Orang juga tetap dilabeli ngompol ketika sudah berdiri di depan mulut jamban tapi terlambat mengeluarkan kemaluan karena sudah tak bisa menahan aliran air yang mendesak keluar dari kemaluan yang kemudian membasahi celana. Lantas apa yang membedakan kencing dengan ngompol? Toh keduanya sama-sama bertujuan mengeluarkan air yang masuk kemulut, yang mengalami proses penyaringan, penyerapan, dan akhirnya di keluarkan melalui kemaluan.

Terlalu sederhana jika yang jadi faktor penentu orang disebut ngompol atau tidak berada di luar diri atau tubuh. Sebab proses yang terjadi dari dalam tubuh orang yang disebut kencing dan yang dikatakan ngompol sama. Yang menentukan orang itu kencing atau ngompol adalah di mana air itu jatuh. Bila jatuh di mulut jamban dinamakan kencing sedangkan yang merembes di celana disebut ngompol. Bagaimana mungkin proses alami metabolisme tubuh ini mampu menjatuhkan nilai seorang kanak-kanak ke level di bawah anak-anak dan orang dewasa ke level anak-anak? Sementara proses alami biasanya terjadi di luar kendali pikiran atau kesadaran manusia. Di luar kesadaran serupa menghirup nafas. Tak perlu kita memerintah paru-paru agar menghirup oksigen di udara kemudian mengeluarkannya sehingga terjadi proses bernafas. Paru-paru bekerja secara otomatis demikian pula air sisa metabolisme tubuh menjadi urine akan dikeluarkan dari tubuh secara otomatis melalui saluran pembuangannya.

Jika kencing dan ngompol dibedakan oleh celana maka penentunya di luar tubuh. Adam dan hawa menjadi malu ketika mengetahui dirinya telanjang setelah memakan buah terlarang (kuldi). Rasa malu karena telanjang itu seolah menandakan garis pemisah antara orang yang sadar dan tidak sadar. Akibat dari kesadaran itu mereka kemudian membuat semacam cawat dari kulit pohon untuk menutupi kemaluannya. Proses menutupi ketelanjangan merupakan hasil kesadaran manusia yang dilanjutkan dengan berpikir, menciptakan sesuatu agar tidak telanjang –celana adalah hasil budaya manusia. Nah! Orang yang kencing di celana biasanya tidak sadar; apalagi yang tidur, itu yang dinamakan ngompol. Karena celana adalah simbol kesadaran. Simbol akal manusia. dan, ngompol diluar kesadaran orang yang mengalaminya.

Apabila kutarik pada diriku pagi ini; aku terbangun karena dorongan air yang mendesak ke kemaluan kemudian kukeluarkan di mulut jamban di kamar mandi. Semuanya kulakukan tanpa berpikir. Aku tidak berpikir bangun dari tidur untuk kencing melainkan rasa ingin kencing itu yang membangunkanku. Aku juga tidak berpikir mengeluarkan urinku di celana atau di mulut jamban. Semua bekerja secara otomatis. Ketika ginjalku penuh tubuhku seolah-olah menerima alarm yang memicu bagian tubuh lain bekerja. Aku bangun tapi tidak sadar. Aku kencing tapi tidak berpikir.

Dorongan air yang ingin keluar dari kemaluan menggerakkan seluruh tubuhku menuju kamar mandi. Dalam perjalanan dari kasur menuju kamar mandi itu tak ada satu hal pun yang kupikirkan. Aku tidak tahu sekarang hari apa. Aku tidak melihat jam sehingga tak tahu jam berapa aku melintas di bawah tempat jam dinding digantung. Aku hanya melihat orang-orang rumah, ada yang di dapur, ada yang berpapasan denganku, ada yang duduk di depan televisi mati. Semua bergerak sepintas di bola mataku namun tidak bersuara di kepalaku. Kepalaku tidak mengatakan nama orang yang ada di dapur dan orang  yang berpapasan denganku ketika berjalan ke kamar mandi. Tak satupun orang yang kulihat tersebutkan namanya di kepalaku.

Kutatap air yang jatuh kegenangan air di mulut jamban. Aku mendengar pertemuan air itu dan mengguyurnya dengan air dari bak mandi. Lalu kuambil gelas; menekan pelatuk dispenser, kudengar suara gelegak air dari turunnya air ke gelas; kuminum air itu. Kemudian aku menyapa nama anak kecil yang duduk di depan televisi yang mati.
eksistensial

No comments: